Kantor Partai Aceh Kabupaten Bireuen disesaki lelaki paruh baya. Hanya terlihat kurang dari lima sosok perempuan. Asap rokok memenuhi ruangan. Mata Biya mengeluarkan air dan perih terpapar asap rokok. Tidak ada jalan keluar untuk asap yang menggantung lamban bergerak. Ruangan persegi panjang ini hanya punya satu akses keluar; pintu depan. Tanpa exhaust tanpa penetralisir asap rokok. Kipas angin yanh menempel didinding berputar kekanan dan kiri semampunya. Pendingin udara terpasang lengkap dengan instalasi kabel. Tapi tidak nyala.
Kursi plastik merah berbaris diisi para tamu. Geuchiek Faidir mengundang anggota PA/KPA se kecamatan Jeumpa. Turut diundang tuha peut, penasehat, caleg DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk tingkat provinsi).
Biya dah caleg lain di dapuk duduk di muka. Menghadapi tetanu sekalian. Ada Cut Abang, Panglima Daerah II. Berkemeja kotak-kotak dan celana denim biru. Biya yakin itu 501 keluaran Levi’s.
Faidir yang bertindak sebagai tuan rumah tidak nampak di deretan depan.
Juliani, perempuan yang nyaleg untuk dapil kecamatan Jeumpa dan Juli, sudah mulai diserang demam panggung. Tangannya menggenggam tangan Biya. Mencari kepercayaan diri yang mungkin bisa diserap. Biya menggoda caleg muda itu.
“Kata Ketua Faidir minimal bicara sepuluh menit!”
“Ah kek mana dulu ketua tu, ini mau pegang mik aja udah gek gok kita. Apalagi ngomong sepuluh menit”
Juliani mempererat pegangannya pada Biya sambil menggosok telapak tanganya pada permukaan kulit Biya. Berbagi dingin.
“Ya kan ini yang datang semua jajaran PA/KPA. Ada pang sago, pang cut, pang sa, pang dua dan pang lhe. Mereka harus dengarlah visi misi kita..biar dibantu kampanye nanti”
Biya meningkatkan kemahiran usilnya. Juliani menggelengkan kepalanya. Biya tersenyum nakal.
Tengku Baha membuka acara dengan mukadimah dan penghormatan. Menyampaikan maksud dan tujuan acara. Kemudian meminta Faidirmemberikan arahan. Disusul nasehat dari Cut Abang.
Cut Abang adalah satu Panglima Daerah. Wilayah Batee Iliek yang dikomandoi Panglima Dawis Djeunieb terbagi kedalam empat daerah. Khusus daerah dua meliputi kecamatan Peudada, Jeumpa, Kota Juang, Juli dan Kuala.
Selanjutnya perkenalan caleg. Dimulai caleg DPRK. Dimulai dari Ketua Faidir yang kebetulan juga caleg DPRK. Faidir yang menanggalkan jabatan geuchiek (kepala desa) untuk mengemban amanat sebagai caleg, tidak sedikitpun mengalami kesulitan. Berbicara didepan umum dengan santai. Sesekali bercanda dan tegas. Caleg selanjutnya yang memperkenalkan diri juga laki-laki. Tengku Muslem. Berbeda dengan Faidir, Tengku Muslem sangat singkat. Hanya memperkenalkan nama dan nomor hp. Selesai.
Juliani yang komat kamit menghafal, terperangah demi melihat Tengku Muslem segera menyerahkan mikrofon ke tangan Juliani.
“Eeehhh… eehhh pu roh lon peugah. Han tingat le”
Kata-kata pembuka Juliani di sambut gelak tawa hadirin. Tangan kanannya memegang mik, tangan kirinya tidak melepaskan cengkraman pada bahu Biya.
“Kak.. pu lon peugah?” Juliani bertanya sambil menggaruk kepala.
“Pu peugah? Meu salam golom ka kheun!”
“Ooohhh nyoo.. tuwo lon.. meuah beuh… Assalamualaikum.. nan lon Juliani, terimakasih… wassalamualaikum..” Juliani langsung menyerahkan mic kepada Tengku Baha. Hadirin riuh rendah berteriak. Ada yang bertanya apakah masih lajang. Sudah punya berapa anak. Nomor hp. Tapi kesempatan sudah tidak ada. Juliani mempersembahkan perkenalan dengan sesingkat-singkatnya.
Pada giliran caleg DPRA, Tengku Baha meminta memberikan kesempatan pertama pada Biya. Ini kali pertama Biya memperkenalkn dirinya sebagai caleg.
Biya mengambil mic.
“MERDEKA!!!”
sekonyong-konyong Biya memekikkan kata merdeka sambil mengepalkan tangan kanannya dan melambungkan ke udara.
Hadirin kaget. Tidak ada yang berani merespon teriakan Biya.
“Pakon? Kok seungap.. pu hana tingat le Merdeka pu?...Kita ulang ya!.. MERDEKA!”
Masih senyap. Trauma apa yang membuat mereka mendadak bisu menyambut teriakan Biya.
“Ka jeut.. menye memang hana tingat le cara kheun medeka, hana payah ta kheun le. Bah meunan aju…kadang ureuend droen teumakot. Padahal nyo kan teriakan merdekan dalam bingkai NKRI hana masalah.”
“Hana bu… tingat kamo mantong! Aci neulang sigo teuk”
Biya mengulangi teriakannya. Kali ini disambut meriah seisi ruangan. Dengan gegap gempita tentunya.
Padahal setiap saat kita boleh meneriakan kata itu. Bahkan 17 Agustus tidak sepi dari pekik merdeka, malah menggema seantero nusantara.
“April ini penentuan untukPartai Aceh. Kursi partai aceh di legislatif menyusut. Butir MoU banyak yang belum dipenuhi. Dan tugas anggota legislatif untuk mengawalnya. Mereka tidak mungkin melakukan tugas tanpa dukungan dari saudara semua. Makan kita harus punya banyak wakil di DPRK maupun DPRA. Dalam rangka menempatkan wakil Partai Aceh dan wakil Bireuen, tidak mungkin saya, Faidir, Juliani, Tengku Muslem dan Cut Abang melakukan tugas ini sendiri sendiri. Ini adalah pekerjaan berjamaah!. Kita harus menang pemilu ini!”
Biya menyelesaikan kata-katanya dengan salam penutupan. Perkenalan ini diakhiri oleh bang Asyari atau terkenal dengan panggilan Ayi Juang. Tidak kalah berapi-api, Ayi Juang menggelorakan semangat peserta pertemuan malam itu.
Selesai acara, Biya dihampiri beberapa orang laki-laki.
“Betul yang anda bilang. 2019 penentuan untuk kita. Kalau kita kalah, bagaimana kita perjuangkan Aceh agar semakin baik. Pasti sulit” Tengku Malageh menundukkan kepala ketika berbicara dengan Biya. Menekuri lantai kantor. Seperti mencari keyakinan yang mulai menipis. Seperti teriakan merdeka yang tinggal desis saja.
Secara statistik, jumlah anggota PA/KPA ditambah istri para syuhada ditambah anak yatim, memiliki angka signifikan. Apabila mesin ini bekerja secara optimal, mustahil bagi Partai Aceh mengulangi penyusutan jumlah kursi di legislatif.
Berkaca pada pilkada lalu, Partai Aceh gagal menempatkan calonnya sebagai bupati di Bireuen. Golkar menjadi jawara pilkada. H Saifannur dan Muzakkar A Gani memimpin Bireuen dengan perolehan suara 74.650 atau 35,07 persen suara. Disusul Tu Sop atau HM Yusuf Abdul Wahab dan Purnama Setia Budi memperoleh 60.971 suara atau 28,65 persen suara. Bupati petahana, Ruslan M Daud dan Djamaluddin Idris hanya memperoleh 31.086 suara atau 14,60 persen suara. Amiruddin Idris-Ridwan Khalid hanya sanggup meraih 9.264 suara atau 4,35 persen suara.
Sedangkan duet besutan Partai Aceh; Khalili dan Yusri hanya memperoleh 29.934 suara atau 14,06 persen. Terakhir, pasangan Husaini M Amin dan Azwar memperoleh 6.936 suara atau 3,26 persen
Suasana di kantor Partai Aceh mulai lengang. Asap rokok menyusut. Puntung rokok dan wadah minuman plastik bertabur di lantai, diantara kaki-kaki kursi merah. Satu demi satu mesin kendaraan menderu dan menjauh. Pertemuan sudah usai. Tapi semangat baru saja hidup.
Komentar