“Ayah…, maafin P ya yah, P udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi P berani sumpah kalau P gak pernah jual diri sama orang. Malam itu P Cuma mau nonton kibot (keyboard-red) di Langsa, terus P duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan P.”
“Sekarang P gak tau harus gimana lagi, biarlah P pigi cari hidup sendiri, P gak da gunanya lagi sekarang. Ayah jangan cariin P ya..!!, nanti P juga pulang jumpai ayah sama Aris. Biarlah P belajar hidup mandiri, P harap ayah gak akan benci sama P, Ayah sayang kan sama P..???, P sedih kali gak bisa jumpa Ayah, maafin P ayah… Kakak sayang sama Aris, maafin kakak ya.. (P sayang Ayah).”
P, memilih mengakhiri hidupnya dengan seutas tali. Seperti dilansir Tribun News pada Selasa, 11 September 2012 lalu.
Kemarin malam, saya sangat terkejut dengan bombardir berita di linimasa laman facebook. Penangkapan sejumlah laki-laki dan perempuan yang disangkakan menyalahgunakan narkotika, disertai foto-foto jelas, berikut nama dan alamatnya.
Sungguh euforia dalam menjaga moral masyarakat mengakibatkan penyebaran berita berlangsung cepat. Padahal proses hukumnya sendiri belum final dan mengikat.
Prilaku spontan – kalau bisa dikatakan demikian- bisa mempersekusi dan menyebabkan reviktimisasi korban. Padahal Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dimana, kita percaya hukum hadir untuk membimbing manusia pada kehidupan yang baik, aman, tenteram, adil, damai dan penuh kasih sayang.
Terkait penangkapan ini, saya menentang penyebarluasan foto-foto mereka yang tertangkap berikut identitas jelas.
Pertama, proses hukumnya belum selesai dan final. Ada UU Narkotika dan KUHP yang bisa menjerat setelah melalui serangkaian tahap penyelidikan dan penyidikan.
Kedua, berkemungkinan memposisikan korban, sekali lagi menjadi korban atau reviktimisasi. Diatas itu, kita menganut asas praduga tidak bersalah. Dari informasi yang saya dapat, tidak semua terbukti positif urinnya mengandung narkotika. Bayangkan trauma yang dihadapi pribadi dan keluarga korban akibat pemberitaan semena-mena.
Ketiga, bisa terjerat Pidana penjara dan denda. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Selanjutnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Belajar dari kasus P (16 tahun) gantung diri karena pemberitaan di media massa yang menyebutkan dirinya pelacur.
Belajar dari korban perkosaan dan kekerasan seksual masa lalu di Aceh yang dicap sebagai pelacur. Masyarakat yang seharusnya melindungi perempuan yang bernasib tidak baik ini, justru membubuhkan label tertentu yang memperburuk kondisi fisik dan psikis korban. Padahal, ada kasus, perempuan yang membiarkan dirinya menjadi korban, melakukan pilihan itu untuk melindungi keluarganya.
Belajar dari Baiq Nuril bagaimana hukum tidak berpihak pada korban. Baiq sebagai korban, harus menerima hukuman akibat dijerat UU ITE.
Penangkapan ini mengingatkan saya pada kunjungan ke rumah tahanan perempuan di Aceh Tenggara sekitar 15 tahun yang lalu. Mendapati adanya perempuan kurir narkotika dan ganja melakukan pekerjaan itu dibawah tekanan. Baik tekanan ekonomi ataupun ada ancaman lain.
Alangkah indahnya kita bijaksana menekan tombol share pada handphone dan laptop kita.
Komentar