Lokop, mendengar atau membaca nama tersebut pasti membuat otak gatal untuk mulai bertanya, bagi yang tidak pernah mendengar pasti akan bertanya, didaerah mana ya Lokop itu? Bagi yang sdah pernah mendengar pertanyaanya bisa berbunyi ; bagaimana kondisinya sekarang ?,
Lokop berjarak kurang lebih 80 KM dari Langsa. Perjalanan kesana memakan waktu kurang lebih 3 jam 45 menit terhitung dari Langsa. Kalau dimulai dari kota peurelak mungkin bisa ditepuh dengan waktu 3 jam saja. Sebenarnya perjalanan kesana tidak akan terlalu lama apbila jalan aspal (jalan propinsi) yang sudah dibuat oleh pemda tidak seburuk sekarang ini. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi jalan disana, mulai dari banjir bandang yang baru-baru ini melanda, truk kapasitas besar yang serign emlintas dengan muatan yang tidak ringan, curhahujan tinggi yang semakin sering mengikis pinggiran jalan. Curah hujan tinggi ternyata tidak hanya membuat pengikisan bibir jalan, tetapi juga membuat alur baru yangterkadang memotong jalan hingga merusak aspal. Yang lebih parah, air juga yang tidka mampu terserap kedalam tanah mengakibatkan longsornya tanah, sekaligus merubuhkan pohon dan menjatuhkan batu-batu besar dari tebing bukit. Kalau sudah begini, otomatis jalan akan tertutup.
Paling tidak ada 2 buah jembatan rusak total yang kami lewati, kerusakan ini akibat banjir. Kedua jembatan tersebut belum diperbaiki permanen, padahal sekarang sudah mulai musim hujan lagi. batang kelapa menajadi penopang badan jembatan bagi siapa saja yang hendak menyeberang ke ujung. Dibutuhkan keterampilan bagi pengendara yang tidak terbiasa membawa kenderaan dimedan yang berat. Menurut keterangan salah seorang warga, mereka sudah beberapa kali meminta kepada pemda agar palng tidak segera memperbaiki jembatan.
Tidak usah dihitung berapa batang tiang listrik yang tertidur di pinggir jalan. Kalau tinag listrinya tertdiru, lalu bagaimana masyarakat lokop mendapatkan arus listri? Tidak usah dipikirkan terlalu jauh, karena mereka memang sejak lama tidak lagi menikmati aru slistrik, karena terputusnya arus sejak konflik. Paling tidak sekarang penduduk lokop tidak usah disibukkna dengan adanya pengurangan atau pemotongan arus listrik yang menimpa propinsi aceh, toh mereka sudah terbiasa menjalani aktifitas sehari-hari tanpa listrik. Tapi dibeberapa rumah terlihat antena penerap tenaga surya. Inilah andalan masyarakat setempat disamping tenaga jenset.
Jalan rusak, listrik tidak ada, adalagi yang itdak ada di lokop. Sekolah setingkat SMA tidak ada. Angkutan umum sangat kurang,
Sangat mengejutkan bukan, sebuah kecamatan yang berjaran 80 KM dari kota kabupaten tidakmemiliki sebuah SMA. Jadi jangan heran kalau penduduk disana sudah cukup merasa bangga dengan selembar ijazah SMP saja. ”saya harus memasak sendiri waktu waktu sekolah smp dulu, karena haru spindah ke kecamatan sebelah yang punya sekolah smp, saya yakin anak-anak Lokop yang ingin sekolah ke jenjang SMA juga akan melakukan hal yang sama, pindah dari rumah orang tua ketempat lain dan terpaksa memasak sendiri”. Egitu keterangan salah seorang tokoh masyarakat.
Beliau menambahkan ”makanya tidak heran banyak yang merasa Lokop belum merdeka karena belum bisa meraakan banyak fasilitas seperti kecamatan lain”.
Sangat kontras memang situasi desa Lokop yang masih sangat jauh tertinggal di bandingkan dengan luasnya areal perkeunan sepanjang lokasi meunuju ke Lokop. Apakah manfaat dari areal perkebunan sawit dan karet tidak mampu di nikmati oleh rumah penduduk. Jangan ditanya kenapa rumah penduduk masih terbuat dari kayu tebangan liar, karena untuk mendatangkan semen kedaerah tersebtu pasti susah dan memakan biaya yang tinggi.
Ada apa di lokop?
Di lokop ada banyak sekali kayu, di lokop ada perkebunan sawit, di lokop ada sungai besar, di lokop ada besi, di lokop ada Timah!!!
Bicara tentang musim hujan dan penebangan, seharusnya banjir kemarin menjadi pelajaran bagi para pihak, bahwa lokop pastinya bukan salah satu daerah tertinggal di Aceh. Bukan mustahil banjir bandang datang lagi apabila para pihak tidak segera melakukan tindakan pencegahan menghadapi musim penghujan seperti sekarang. Buktinya baru beberapa hari hujan di sana, jalan-jalan di sepanjang lereng sudah mulai menyempit akibat pengikisan, batang-batang kayu bergelimpangan di pinggir jalan.
Lokop dengan segala kekayaanya seharusnya mendapatkan perhatian spesial bukan justru "dijauhi". Dijauhi? ah kabarnya tidak juga... sudah ada beberapa pengusaha yang konon sudah mulai melakukan tinjau lapangan untuk melihat akurasi data yang mereka terima. investorpun kabarnya sudah rela bersusah payah mengunjungi daerah ini demi menimbang langsung keputusan penanaman modal yang akan dilakukan.
Pastinya pemerintah kabupaten tingkat II dimana Lokop bernaung tidak akan membiarkan sebuah kecamatan yang pada pemilihan langsung kemarin memberikan suara mayoritas bagi penguasa sekarang. Sehingga tidak ada penyesalan telah memilih mereka, malah bisa jadi, ada semangat untuk tetap mendukung pada pemilihan berikutnya.