Pengalaman buruk dan doktrin dari kiri-kanan membuat Biya terlalu pemilih dan cenderung menutup diri selama melakukan pelaksanaan kampanye.
Tawaran pertemuan, permintaan menjadi tim, dan undangan kenduri sebagai bagian sosialisasi, semua diseleksi dengan sangat hati-hati oleh Biya.
“Bek sampe i ba lee geunteut!” begitu Feri, sepupunya, menakut nakuti Biya selalu. Akhirnya Biya menggeneralisir; semua orang tyang mendekat erlihat menyerupai “genteuet”.
—
Biya menuliskan poin-poin pertemuan di papan tulis. Semua hal penting tidak luput dari catatannya. pengelolaa jadwal, tanggal, kegiatan apa yang akan dilakukan, kapan mulai dilakukan, kapan target selesai, siapa yang menjadi penanggung jawabnya, target, Biaya yang dibutuhkan. detil pengerjaannya bagaimana.
Dekja, Mafia, Tgk Budi, dan Bang Nadir hadir memenuhi undangan rapat di rumah Biya. Mereka bergantian memberikan masukan.
“Jadi na ta jok peng transport atau han? Setidak jih sayang syit aneuk miet yang jak, pasti awak nyan I meublo kueh kueh euntreuk, masa hana ta bi jajan bacut, geulanto minyeuk lah”.
Memang dimana ada keramaian, akan hadir pula penjaja makanan. Tidak tega rasanya membiarkan ibu-ibu yang meluangkan waktu dan tenaga, meninggalkan pekerjaan, membawa serta anak, juga harus mengeluarkan uang untuk membelikan jajanan di lokasi kampanye.
“Ateuh nan peng cash, hana ta jok panglima. Tapi geulanto jajan, akan ta sediakan snack yang memadai, na coklat, na bonbon, kueh jih kon kueh bangai, pokok jih kotak snack tanyo tidak mengecewakan. Kiban panglima”
Panglima sejurus menatap. Menarik sedikit sudut bibirnya. menarik sebaris seringai. protes yang tidak terucapkan.
“Saya tau bahwa kita butuh biaya untuk melakukan pekerjaan ini. Saya punya biaya, tapi tidak banyak. tapi dalam keterbatasan ini, saya ingin melakukan sesuatu untuk Partai Aceh. Artinya juga KPA.” Biya melanjutkan, sebelum Mafia membuka mulutnya.
Biya mencoba merasionalisasikan alasan penting dibalik kampanye tanpa money politik.
“Apa yang akan saya kerjakan, Memang berat di awal. Apa yang akan kita lakukan ini memang gila. Tapi saya yakin, ini meretas jalan yang baru dan akan memberikan kemudahan di depan”
Yu
“Ya… saya faham Kak Ya, oleh karena itu, saya mendukung penuh Kak Ya, dan siap bekerja sama”
Tengku Budi bersuara.
Mafia lebih banyak diam dan menunduk di kursinya. Tiada putus rokok terjepit di jemari tangannya. Gerakan kakinya bak seorang penjahit menggenjot pedal mesin jahit. Konstan. Pergerakan bola mata Mafia jelas menggambarkan protes, pertanyaan, tidak sepakat, dan banyak model kontra yang ingin dia muntahkan.
Sesekali Mafia mengamati tulisan di papan, kemudian mengalihkan pandangannya ke batang-batang lada di dekat tempat pertemuan berlangsung.
Biya menghormati Tgk Budi bukan sebatas seorang mantan kombatan. Melepaskan harta kekayaanya untuk “perjuangan”. Maka ketika dia bilang faham, bukan semata karena dia mengerti apa yang Biya lakukan. Lebih dari itu, dia telah mengalami pengorbanan yang jauh lebih berat dari apa yang Biya lakukan. Semua karena cintanya pada Aceh.
Disitu kadang kita bersetuju; cinta itu buta.
Buta dilabelkan oleh mereka yang tidak mampu melihat jauh kedepan dan kebelakang. Sesungguhnya kita bisa menterjemahkan bahwa cinta itu tidak buta. Cinta itu punya makna.
Aceh yang mendekam dalam sekapan kejahatan HAM tidak mungkin keluar kalau tidak dilawan. Cinta itu melihat bahwa kita harus menjadi bagian dari perlawanan, perjuangan untuk membebaskan Aceh. Karena Aceh punya masa depan.
Tgk Budi tidak sendiri. Di Aceh banyak pecinta pecinta lain yang telah mengorbankan harta kekayaan dan dirinya sendiri. Nyawanya. Keluarganya. Untuk Aceh.
Biya kehilangan dua orang sahabat. Berbi dan Choy ditangkap ditengah keramaian. Awal 2000, Berbi dan Choy di deploy oleh organisasi politik tempat mereka bernaung. Dari Banda Aceh ke Bireuen. Disana Berbi dan Choy mendampingi korban konflik. Hari itu, para korban konflik melakukan aksi ke pusat kota. Berbi dan Choy mendampingi mereka. Entah darimana datangnya, tentara menarik mereka masuk kedalam mobil. Berbi dan Choy menghilang bersama mobil itu dan tidak pernah dikembalikan.
Proses hukum tidak terjadi. Berbi dan Choy tidak bernasib baik. Hingga sekarang jejaknya hilang terhapus masa.
Bukan tidak pernah kawan-kawan Berbi dan Choy mencarinya lagi. Pencarian itu berlangsung sekian lama. Bahkan sudah menjadi agenda tahunan KontraS Aceh. Setiap diselenggarakan acara tertentu, selalu terpampang foto mereka berdua berikut kronologis kejadiannya.
Biya juga hampir kehilangan Kautsar, waktu itu belum berstatus suaminya. Kautsar diciduk ditengah aksi yang dia organisir. Bersyukur Kautsar terpantau jejaknya dan terbebas dari penculikan berdurasi 2 x 24 jam itu.
Waktu itu, 2002, Kautsar mengorganisir aksi di Aceh Utara, tepatnya Lhokseumawe. Kautsar ditangkap dan dimasukkan dalam mobil kijang. Beberapa teman yang melihat terus mengikuti laju mobil itu. Sampai akhirnya mereka melihat Kautsar diturunkan. Kautsar dilepaskan setelah melewati banyak drama.
—-
Miana mengintip ke teras belakang, tempat pertemuan berlangsung. Memberikan kode kepada Biya bahwa makan siang sudah siap. Pertemuan terhenti untuk makan siang dan shalat.
Biya menyalakan telepon genggamnya yang dimatikan selama pertemuan berlangsung. Beberapa pesan dari tim dilapangan masuk dan langsung di respon. Dari beberapa pesan, satu pesan membuat Biya tersenyum
“Kak, Lon Ali dari Samalanga, sajan lon dan suara 1000 neuk jeut lon arahkan keu droen.”
Nah kalau yang ini geunteut belum ikut pendidikan marketing.
Pertemuan di rumah Biya diharapkan mampu menggerakkan mesin kampanye. Apabila mesin berjalan, tentu dapat menghalau Biya dari geunteut-geunteut yang mendekat.
Komentar