“Drouneuh ureung inong, keupeu neu ek keu caleg, ek menang nyan? (Kamu perempuan, untuk apa maju sebagai caleg, bisa menang itu?).”
“Apa strategi yang kamu lakukan supaya menang?”
PERTANYAAN-PERTANYAAN seperti itu, kerap diterima dan dihadapi oleh para calon legislatif (caleg) perempuan, termasuk penulis. Terkadang terbersit pertanyaan pula dalam pikiran ini; Jawaban apa sih yang mereka inginkan? Apa yang terjadi kalau jawabannya tidak memenuhi harapan si penanya? Pertanyaan ini bisa jadi pembuka obrolan saja, biar semakin akrab, atau sekadar basa-basi kepo. Bisa jadi juga aktualisasi dari sebuah keraguan, bahwa perempuan sulit menang dalam Pemilu 2019 mendatang.
Jika kita menoleh beberapa hari ke belakang, rekor dunia keterwakilan perempuan dalam parlemen menembus angka baru; Rwanda berhasil menghadirkan 67,5% keterwakilan perempuan dalam parlemen. Ini berarti, 54 dari total 80 kursi parlemen yang disediakan di Rwanda, berhasil diduduki oleh kaum perempuannya. Top!
Perempuan, realitasnya dalam masyarakat kita adalah penanggung jawab terhadap roda ekonomi keluarga. Perempuan yang lebih mengerti dan memahami kebutuhan dapur, kondisi kesehatan anggota keluarga, pendidikan anak, relasi sosial hingga kondusivitas rumah tangga.
Perempuan menguasai persoalan tersebut, karena selalu hadir di sana, langsung bergelut langsung dengan aneka macam persoalan. Mengantar-jemput anak ke sekolah, termasuk mengantar makan siangnya, urusan bayar SPP, tarif listrik yang makin bikin mata redup, harga sandang pangan dan papan yang kerap mengalami fluktuasi, mengantar keluarga ke Puskesmas, bantu-bantu tetangga kenduri, hingga persoalan terhentinya pasokan Gas Elpiji di pasaran.
Selama ini, hal yang demikian dianggap masalah remeh-temeh, hingga jarang yang menyuarakan, lebih tepatnya jarang yang fokus pada keremeh-temehan sistemik tersebut. Persoalan domestik ini dianggap “politik ecek-ecek”. Padahal basis kehidupan, adanya di sana. Itu kenapa, kita harus melihat kebutuhan perempuan secara luas, terukur dan sistematis. Tidak bisa melihat persoalan perempuan sebelah mata dan sempit. Hanya melihat secara parsial dari sudut pandang kebutuhan perempuan sebagai individu.
Kunci kehidupan ada di sana bersama perempuan. Pada hal-hal rumah tangga yang dianggap remeh temeh itu. Terletak pada asap dapur, pendidikan anak, kesehatan keluarga, keharmonisan rumah tangga, dan lain seterusnya. Padahal, Jika saja pemerintah mampu menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi perempuan, sama artinya dengan pemerintah sudah menyelesaikan separuh dari urusan kenegaraan.
Suara perempuan murah. Apa yang dilakukan kemudian, suara-suara perempuan dihargai dengan selembar jilbab, kain sarung, sebotol sirup atau paling banter satu paket sembako. Semua orang setuju bahwa suara perempuan punya nilai politik tinggi. Baik dalam kontestasi pilkada maupun pilpres. Kenapa?
Berkomitmen tinggi
Secara populasi, jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Kemudian perempuan identik sebagai komponen masyarakat yang berkomitmen tinggi dan disiplin atas pilihan politiknya. Kalau sudah bilang pilih si A, maka dia tak akan pilih si B. Kalau dia katakan akan menggunakan hak pilihnya, maka dia akan pergi ke TPS pada hari H pencoblosan.
Oleh karena itu, kaum perempuan kerap disasar oleh kontestan politik. Satu sisi perempuan itu punya kekuatan, tapi begitu masuk dalam ruang pengambilan kebijakan, posisi perempuan mendadak lenyap. Fantastis bukan?
Kelebihan perempuan yang terbukti secara empiris ini adalah sebuah kekuatan melakukan perubahan sosial. Sekarang yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengkonversikan hal-hal positif dari perempuan menjadi satu kekuatan politik bagi perempuan. Bukan hanya perempuan untuk perempuan saja, tapi suara perempuan akan berkontribusi pada perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada suatu kesempatan, saya pernah menyampaikan ucapan selamat kepada sesama caleg perempuan. Pilihan menjadi caleg, bagi seorang perempuan bukanlah persoalan mudah. Itu kenapa, kita yang sudah menjadi caleg perempuan, harus berbangga. Kita bertarung melawan dinamika yang identik dengan kekejaman; dinamika yang juga disebut dengan “politik”. Meskipun sulit, perjuangan ini tetap harus dilakukan sebagai upaya melindungi hak-hak perempuan terfasilitasi secara maksimal oleh negara.
Caleg perempuan sudah menang ketika dia memutuskan dan diputuskan sah menjadi caleg. Karena untuk masuk dan bersaing sebagai caleg saja, perempuan sudah diuji dengan proses panjang dan melelahkan. Melawan rasa pesimis ungkapan, “Perempuan hanya intat linto saja”, yang telah menjadi stigma kuat dalam masyarakat.
Karakter demokrasi juga berperan penting terhadap keberhasilan perempuan. Misalnya, nomor urut perempuan jarang sekali pada nomor strategis. Caleg perempuan rentan di curangi. Ketiadaan batasan waktu perhitungan suara mengakibatkan perhitungan suara dilakukan hingga larut malam, salah satu contoh persoalan yang belum diakomodir dalam peraturan. Perempuan dengan segala keterbatasannya kerap dirugikan, karena sering kehilangan suara.
Dua hal yang harus dilakukan oleh perempuan agar mampu memenangkan pertarungan 2019. Pertama, Perempuan harus menyiapkan politisi perempuan yang tangguh. Mampu bersanding dengan laki-laki, dalam makna pikiran, jaringan, pengetahun, dan finansial. Dan, kedua, strategi yang tepat memenangkan hati dan pikiran perempuan, serta masyarakat.
Kesadaran politik
Secara pribadi, saya tertantang menjawab pertanyaan; Bagaimana caranya agar perempuan punya kesadaran politik? Kalau hanya ikut nyoblos saja, bukan kesadaran politik namanya. Tapi bagaimana mendorong perempuan yang sudah punya pengetahuan politik ini, mengajak orang lain untuk memilih perempuan yang punya cita-cita politik perubahan.
Indonesia sudah maju dengan hadirnya kuota 30% untuk keterwakilan perempuan sebagai caleg. Kuota ini pada praktiknya terkesan hanya sebuah formalitas, tanpa bisa digunakan secara optimal. Kuota 30% ini bukanlah tujuan. Ini adalah satu pijakan kepada tujuan sesungguhnya.
Tujuan sesungguhnya adalah eksistensi perempuan dalam politik. Kenapa? Politik yang mengatur negeri, anggaran, kebijakan. Maka bagaimana mendorong eksistensi perempuan dalam politik. Bagaimana melahirkan wakil perempuan yang berkualitas.
Sedemikian vital posisi perempuan. Itu kenapa, seluruh perempuan harus mengambil peran aktif dalam politik dan pemilu. Khususnya Pemilu dan Pilpres 2019 nanti. Perempuan harus memilih sosok perempuan yang berpikiran maju, sehingga eksistensi politik perempuan tetap terjaga. Nah!
* Arabiyani, S.H., M.H., Ketua Putro Aceh Bireuen. Email: arabiyani@yahoo.com
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Pemilu 2019; Perempuan Pilih Perempuan, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/15/pemilu-2019-perempuan-pilih-perempuan?page=2.
Editor: bakri
Komentar