Kau begitu...sempurna
Dimataku kau begitu...indah
Kau membuat diriku akan slalu memujamu
Di setiap langkahku
Ku kan slalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu
-jujur aja kalo aku baca bait per bait jadigeli juga sendiri-JiBiji, NenNenen, DinUdin, Aku, iRoy, Clara, Sarah, Hendra ..pastinya akan selalu merasakan kangen yang mendalam kalau mendengar lantunan lagu ini. Tepatnya pada penyanyi yang (sumpah!) mirip si Rein. Gak abis pikir, mungkin kalo kita ubek-ubek lagi Sumut, ada beberapa Rein lagi yang beredar kali ya? Di Thailand ketemu kembaran gak Rein?
Medan menjadi tempat pemuas nafsu birahi semua orang yang sesak dengan rutinitas ulekareng. Canai mamak dan pantai lhoknga pun belum tentu mampu menampung luapan gairah yang begitu mendesak. Mungkin Sabang menjadi kisah sarat erotisme yang tak luput dari kelucuan sendiri. Cerita semalam dimedan hanyalah secuil kisah diantara kisah lain yang mungkin belum sempat disuguhkan oleh teman2.
Tak perlu tergesa-gesa. Walapun kota Medan tak sebesar kota-kota lain, tapi paling tidak cerita-cerita yang terukir dari sana memberikan sejarah manis bagi siapapun. Siapa? Diantara mereka yang terutama adalah kalangan orang Aceh yang sudah eneg dengan rambu-rambu basi tapi masih juga di pasang di lorong-lorong kota. Memangnya sudah sedemikian kadaluarsanya? Ah, tak usahlah menghakimi pekerja non pemerintah yang kerap merindukan hamburan uang funding demi mengantarkan kepenatan para peserta ke hotel sederhana asalkan di Medan. Toh para wakil rakyat juga melakukan hal sedemikian.
Pernah, suatu ketika di awal tahun 1999, seorang teman menasehatiku tentang bagaimana menjalin hubungna dengan laki-laki. ”perlakukan mereka seperti sabun, jangan di genggam terlalu kuat karena dengan mudahnya dia akan lompat keluar genggaman. Jangan juga di biarkan bebas di atas telapak tangan, karena dia akan tergelincir karena licin tubuhnya.”. Sepertinya ini tidak hanya berlaku dalam dongeng percintaan muda mudi saja. Begitu juga dengan keseharian masyarakat Aceh yang tidak suka di kekang dan tidak bisa dibiarkan bebas. Apalagi ditambah dengan hukum berlapis di Aceh, ada Adat yang konon ditangan Poe Teu Meurehom. Ada Hukom yang di yakini semua orang berada di tampuk kekuasaan Ulama. Terus ada lagi WH yang bukan poe teuh meuruhom dan juga bukan ulama, bukan juga laksamana tetapi memiliki otoritas nyaris merangkum semua fungsi penyidik dan hakim. Jangan lupa, ada bonus tentara non organik yang sering hadir tanpa undangan. Duh duh, sebegitu bejatnyakah masyarakat Aceh sehingga harus di suguhi pengamanan demikian ketat? Lalu semua orang marah ketika Medan meraup begitu banyak keuntungan dari uang Aceh yang dibiarkan beredar di Ibukota sumatera utara. Bagaimana mungkin itu terjadi, jelas jelas untuk yang sederhana saja orang Aceh lebih senang lari ke Medan.
Bagaimana kalau di tengah maraknya perjuangan ALA-ABAS, kita juga melakukan perjuangan penggabungan propinsi ke Sumatera Utara? Aku rasa ide ini tidak terlalu gila untuk di lemparkan. Paling tidak aku yakin JiBiji, NenNenen, DinUdin, Aku, iRoy, Clara, Sarah akan mempertimbangkan ide gila ini.
Bayangkan kalau Aceh menjadi bagian dari Medan. Mobil BL-NA kayaknya sudah mendapat jarak tempuh lebih jauh. Artinya Garuda Hotel tidak akan memberikan diskon untuk pemilik KTP NAD. Berarti aku harus mengganti KTP jadi KTP Medan? Atau apakah mau orang Medan mengganti KTP menjadi KTP Aceh?.
Dimataku kau begitu...indah
Kau membuat diriku akan slalu memujamu
Di setiap langkahku
Ku kan slalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu
-jujur aja kalo aku baca bait per bait jadigeli juga sendiri-JiBiji, NenNenen, DinUdin, Aku, iRoy, Clara, Sarah, Hendra ..pastinya akan selalu merasakan kangen yang mendalam kalau mendengar lantunan lagu ini. Tepatnya pada penyanyi yang (sumpah!) mirip si Rein. Gak abis pikir, mungkin kalo kita ubek-ubek lagi Sumut, ada beberapa Rein lagi yang beredar kali ya? Di Thailand ketemu kembaran gak Rein?
Medan menjadi tempat pemuas nafsu birahi semua orang yang sesak dengan rutinitas ulekareng. Canai mamak dan pantai lhoknga pun belum tentu mampu menampung luapan gairah yang begitu mendesak. Mungkin Sabang menjadi kisah sarat erotisme yang tak luput dari kelucuan sendiri. Cerita semalam dimedan hanyalah secuil kisah diantara kisah lain yang mungkin belum sempat disuguhkan oleh teman2.
Tak perlu tergesa-gesa. Walapun kota Medan tak sebesar kota-kota lain, tapi paling tidak cerita-cerita yang terukir dari sana memberikan sejarah manis bagi siapapun. Siapa? Diantara mereka yang terutama adalah kalangan orang Aceh yang sudah eneg dengan rambu-rambu basi tapi masih juga di pasang di lorong-lorong kota. Memangnya sudah sedemikian kadaluarsanya? Ah, tak usahlah menghakimi pekerja non pemerintah yang kerap merindukan hamburan uang funding demi mengantarkan kepenatan para peserta ke hotel sederhana asalkan di Medan. Toh para wakil rakyat juga melakukan hal sedemikian.
Pernah, suatu ketika di awal tahun 1999, seorang teman menasehatiku tentang bagaimana menjalin hubungna dengan laki-laki. ”perlakukan mereka seperti sabun, jangan di genggam terlalu kuat karena dengan mudahnya dia akan lompat keluar genggaman. Jangan juga di biarkan bebas di atas telapak tangan, karena dia akan tergelincir karena licin tubuhnya.”. Sepertinya ini tidak hanya berlaku dalam dongeng percintaan muda mudi saja. Begitu juga dengan keseharian masyarakat Aceh yang tidak suka di kekang dan tidak bisa dibiarkan bebas. Apalagi ditambah dengan hukum berlapis di Aceh, ada Adat yang konon ditangan Poe Teu Meurehom. Ada Hukom yang di yakini semua orang berada di tampuk kekuasaan Ulama. Terus ada lagi WH yang bukan poe teuh meuruhom dan juga bukan ulama, bukan juga laksamana tetapi memiliki otoritas nyaris merangkum semua fungsi penyidik dan hakim. Jangan lupa, ada bonus tentara non organik yang sering hadir tanpa undangan. Duh duh, sebegitu bejatnyakah masyarakat Aceh sehingga harus di suguhi pengamanan demikian ketat? Lalu semua orang marah ketika Medan meraup begitu banyak keuntungan dari uang Aceh yang dibiarkan beredar di Ibukota sumatera utara. Bagaimana mungkin itu terjadi, jelas jelas untuk yang sederhana saja orang Aceh lebih senang lari ke Medan.
Bagaimana kalau di tengah maraknya perjuangan ALA-ABAS, kita juga melakukan perjuangan penggabungan propinsi ke Sumatera Utara? Aku rasa ide ini tidak terlalu gila untuk di lemparkan. Paling tidak aku yakin JiBiji, NenNenen, DinUdin, Aku, iRoy, Clara, Sarah akan mempertimbangkan ide gila ini.
Bayangkan kalau Aceh menjadi bagian dari Medan. Mobil BL-NA kayaknya sudah mendapat jarak tempuh lebih jauh. Artinya Garuda Hotel tidak akan memberikan diskon untuk pemilik KTP NAD. Berarti aku harus mengganti KTP jadi KTP Medan? Atau apakah mau orang Medan mengganti KTP menjadi KTP Aceh?.