Merangkai Hari Bersama Resolusi 1325
Akhirnya 31 Oktober 2000 menjadi sangat berarti bagi banyak perempuan di dunia. Dunia yang belum merasa lelah dan beristirahat dari perang bersenjata. Pada tanggal dimaksud, Resolusi 1325 (S/RES/1325) Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan menemukan kata sepakat untuk disahkan setelah melewati diskusi panjang. Indonesia tidak mau ketinggalan menjadi satu dari sekian negara lain yang menanda-tangani resolusi tersebut. Tak mau kalah cepat, bahkan penanda-tanganan itu dilakukan pada tahun yang sama, 2000.
S/RES/1325 merupakan satu-satunya Resolusi yang disahkan oleh Dewan Keamanan, dimana ianya mengangkat dampak perang terhadap perempuan. Termasuk bagaimana perempuan memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik dan menegakkan perdamaian yang berkelanjutan. Resolusi ini juga menyatakan kekhawatiran yang besar bahwa penduduk sipil -utamanya perempuan dan anak-anak- adalah mereka yang paling rentan terkena dampak perang bersenjata, termasuk para pengungsi dan internally displaced persons. Tidak juga dapat dipungkiri kemungkinan kelompok rentan ini menjadi sasaran pasukan dan elemen bersenjata lainnya, dan menyadari dampak yang lebih jauh bagi perdamaian yang berkelanjutan dan rekonsiliasi,
S/RES/1325 Menegaskan pentingnya peranan perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik, dan penciptaan perdamaian, serta menekankan pentingnya kesetaraan dalam berpartisipasi dan keterlibatan penuh mereka dalam segenap usaha yang dilakukan dalam kerangka menjaga dan mendorong perdamaian dan keamanan. Perlu juga meningkatkan peran mereka dalam pengambilan keputusan terkait pencegahan dan resolusi konflik.
Apakah S/RES/1325 memiliki masa depan sebagai obat penawar di Aceh? Sebuah tempat dimana perempuan tidak hanya menjadi korban konflik, bahkan mereka menjadi bagian dari para pihak yang mencetuskan konflik. Sebuah tempat dimana perempuan juga terjepit diantara dinding tatanan masyarakat bias gender. Mulai dari struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya, semua tersekat erat untuk perempuan. Itu kenapa S/RES/1325 menjadi sangat relevan pada konteks Aceh hari ini. Disamping Aceh yang baru saja menandatangani MoU, juga karena Aceh masih menjadi perhatian dunia. Sehingga sangat strategis bagi para pihak untuk mendorong implementasi resolusi ini. Singkat kata, mendukung perdamaian di Aceh berarti juga harus menerapkan S/RES/1325.
Tentu saja tidak mudah untuk melaksanakannya, tetapi, MoU dan LoGA menjadi instrumen kuat dalam kerangka kerja kedepan. Disamping akan segera hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM sebagai mana termaktub dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh. Selain itu, BRA (Forbes & Bapel) sebagai institusi yang memiliki mandat untuk melakukan Reintegrasi juga harus memainkan peranan penting karena perdamaian sebagai pintu masuk S/RES/1325 akan tidak berarti apa-apa kalau ini tidak di dukung oleh institusi penekan dan atau pemantau. Bahkan dalam konteks ini tidak juga dapat dinafikan bahwa penegak keamanan akan menjadi ujung tombak penegakan resolusi ini.
Tulang belakang pelaksanaan resolusi ini terletak pada konsolidasi data mengenai dampak konflik bersenjata terhadap perempuan dan remaja perempuan. Merujuk kepada kodisi Aceh dimana data sangat minim tersedia, tentunya ini kendala yang sangat besar mengingat data sangat mahal dan sulit didapatkan. Bahkan data terpilah sebagai profil profinsi Aceh juga belum tersedia. Data ini menjadi pintu masuk bagi semua aktor terkait, ketika melakukan negosiasi dan menjalankan kesepakatan perdamaian untuk mengadopsi gender termasuk dalam hal (a) kebutuhan khusus perempuan dan remaja perempuan ketika mengungsi kembali ke tempat asal atau ditempatkan di tempat baru (repatriation and resettlement) dan untuk masa rehabilitasi, reintegrasi dan rekonstruksi pasca konflik; (b) usaha-usaha yang mendukung perempuan lokal menjalankan inisiatif perdamaian, proses resolusi konflik yang menggunakan kearifan lokal, dan yang melibatkan perempuan dalam setiap mekanisme pelaksanaan kesepakatan perdamaian; (c) usaha yang menjamin perlindungan perempuan dan penghormatan hak asasi perempuan dan remaja perempuan, khususnya yang terkait dengan konstitusi, sistem pemilu, polisi dan peradilan;
Penelitian LINA-UNFPA yang dilaksanakan dengan menggunakan metode survey di 11 kecamatan, yang berada di Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Besar, menyimpulkan bahwa kaum perempuan yang termasuk kategori yang tercantum dalam S/RES/1325 masih belum memperoleh akses yang memadai untuk memperoleh pemberdayaan di bidang ekonomi, pendidikan dan politik di era pasca konflik ini. Meskipun perempuan dianggap aset yang penting dalam proses demokrasi, namun belum cukup kuat komitmen dari pemerintah, maupun organisasi lainnya untuk melibatkan peran perempuan secara aktif dalam proses perdamaian yang menyertakan perempuan. Konon lagi kalau kita menyentil komponen gender didalamnya, jauh arang dari api.
Fenomena lain yang sebenarnya terjadi didalam masyarakat menunjukkan bahwa para perempuan belum merasakan keuntungan dari perdamaian yang telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir ini. Lebih parah lagi sebagian dari para perempuan korban konflik bersenjata yang termasuk dalam S/RES/1325 masih beranggapan bahwa satu-satunya jalur kekerasan hanyalah satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan permasalahan. Kalau begitu bagaimana partisipasi perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian? Harus diakui kebijakan spesifik menyangkut ketelibatan perempuan dalam menjaga perdamaian. Itu kenapa, penting sekali menularkan informasi dan pemahaman mengenai S/RES/1325.
Merenda hari bersama S/RES/1325 akan berdampak pada peran perempuan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik, peningkatan Perlindungan HAM perempuan dalam konflik, Peran perempuan dalam pengambilan keputusan, Perlindungan perempuan terhadap Kekerasan Berbasis Gender termasuk Rehabilitasi ex combatant dan tanggungannya yang responsif gender
Akhirnya 31 Oktober 2000 menjadi sangat berarti bagi banyak perempuan di dunia. Dunia yang belum merasa lelah dan beristirahat dari perang bersenjata. Pada tanggal dimaksud, Resolusi 1325 (S/RES/1325) Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan menemukan kata sepakat untuk disahkan setelah melewati diskusi panjang. Indonesia tidak mau ketinggalan menjadi satu dari sekian negara lain yang menanda-tangani resolusi tersebut. Tak mau kalah cepat, bahkan penanda-tanganan itu dilakukan pada tahun yang sama, 2000.
S/RES/1325 merupakan satu-satunya Resolusi yang disahkan oleh Dewan Keamanan, dimana ianya mengangkat dampak perang terhadap perempuan. Termasuk bagaimana perempuan memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik dan menegakkan perdamaian yang berkelanjutan. Resolusi ini juga menyatakan kekhawatiran yang besar bahwa penduduk sipil -utamanya perempuan dan anak-anak- adalah mereka yang paling rentan terkena dampak perang bersenjata, termasuk para pengungsi dan internally displaced persons. Tidak juga dapat dipungkiri kemungkinan kelompok rentan ini menjadi sasaran pasukan dan elemen bersenjata lainnya, dan menyadari dampak yang lebih jauh bagi perdamaian yang berkelanjutan dan rekonsiliasi,
S/RES/1325 Menegaskan pentingnya peranan perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik, dan penciptaan perdamaian, serta menekankan pentingnya kesetaraan dalam berpartisipasi dan keterlibatan penuh mereka dalam segenap usaha yang dilakukan dalam kerangka menjaga dan mendorong perdamaian dan keamanan. Perlu juga meningkatkan peran mereka dalam pengambilan keputusan terkait pencegahan dan resolusi konflik.
Apakah S/RES/1325 memiliki masa depan sebagai obat penawar di Aceh? Sebuah tempat dimana perempuan tidak hanya menjadi korban konflik, bahkan mereka menjadi bagian dari para pihak yang mencetuskan konflik. Sebuah tempat dimana perempuan juga terjepit diantara dinding tatanan masyarakat bias gender. Mulai dari struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya, semua tersekat erat untuk perempuan. Itu kenapa S/RES/1325 menjadi sangat relevan pada konteks Aceh hari ini. Disamping Aceh yang baru saja menandatangani MoU, juga karena Aceh masih menjadi perhatian dunia. Sehingga sangat strategis bagi para pihak untuk mendorong implementasi resolusi ini. Singkat kata, mendukung perdamaian di Aceh berarti juga harus menerapkan S/RES/1325.
Tentu saja tidak mudah untuk melaksanakannya, tetapi, MoU dan LoGA menjadi instrumen kuat dalam kerangka kerja kedepan. Disamping akan segera hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM sebagai mana termaktub dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh. Selain itu, BRA (Forbes & Bapel) sebagai institusi yang memiliki mandat untuk melakukan Reintegrasi juga harus memainkan peranan penting karena perdamaian sebagai pintu masuk S/RES/1325 akan tidak berarti apa-apa kalau ini tidak di dukung oleh institusi penekan dan atau pemantau. Bahkan dalam konteks ini tidak juga dapat dinafikan bahwa penegak keamanan akan menjadi ujung tombak penegakan resolusi ini.
Tulang belakang pelaksanaan resolusi ini terletak pada konsolidasi data mengenai dampak konflik bersenjata terhadap perempuan dan remaja perempuan. Merujuk kepada kodisi Aceh dimana data sangat minim tersedia, tentunya ini kendala yang sangat besar mengingat data sangat mahal dan sulit didapatkan. Bahkan data terpilah sebagai profil profinsi Aceh juga belum tersedia. Data ini menjadi pintu masuk bagi semua aktor terkait, ketika melakukan negosiasi dan menjalankan kesepakatan perdamaian untuk mengadopsi gender termasuk dalam hal (a) kebutuhan khusus perempuan dan remaja perempuan ketika mengungsi kembali ke tempat asal atau ditempatkan di tempat baru (repatriation and resettlement) dan untuk masa rehabilitasi, reintegrasi dan rekonstruksi pasca konflik; (b) usaha-usaha yang mendukung perempuan lokal menjalankan inisiatif perdamaian, proses resolusi konflik yang menggunakan kearifan lokal, dan yang melibatkan perempuan dalam setiap mekanisme pelaksanaan kesepakatan perdamaian; (c) usaha yang menjamin perlindungan perempuan dan penghormatan hak asasi perempuan dan remaja perempuan, khususnya yang terkait dengan konstitusi, sistem pemilu, polisi dan peradilan;
Penelitian LINA-UNFPA yang dilaksanakan dengan menggunakan metode survey di 11 kecamatan, yang berada di Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Besar, menyimpulkan bahwa kaum perempuan yang termasuk kategori yang tercantum dalam S/RES/1325 masih belum memperoleh akses yang memadai untuk memperoleh pemberdayaan di bidang ekonomi, pendidikan dan politik di era pasca konflik ini. Meskipun perempuan dianggap aset yang penting dalam proses demokrasi, namun belum cukup kuat komitmen dari pemerintah, maupun organisasi lainnya untuk melibatkan peran perempuan secara aktif dalam proses perdamaian yang menyertakan perempuan. Konon lagi kalau kita menyentil komponen gender didalamnya, jauh arang dari api.
Fenomena lain yang sebenarnya terjadi didalam masyarakat menunjukkan bahwa para perempuan belum merasakan keuntungan dari perdamaian yang telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir ini. Lebih parah lagi sebagian dari para perempuan korban konflik bersenjata yang termasuk dalam S/RES/1325 masih beranggapan bahwa satu-satunya jalur kekerasan hanyalah satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan permasalahan. Kalau begitu bagaimana partisipasi perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian? Harus diakui kebijakan spesifik menyangkut ketelibatan perempuan dalam menjaga perdamaian. Itu kenapa, penting sekali menularkan informasi dan pemahaman mengenai S/RES/1325.
Merenda hari bersama S/RES/1325 akan berdampak pada peran perempuan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik, peningkatan Perlindungan HAM perempuan dalam konflik, Peran perempuan dalam pengambilan keputusan, Perlindungan perempuan terhadap Kekerasan Berbasis Gender termasuk Rehabilitasi ex combatant dan tanggungannya yang responsif gender