Perempuan Aceh, perempuan Indonesia dan perempuan dunia, bergelora melecutkan semangat menuntut keadilan. Perempuan bersama dengan kelompok miskin dan rentan lainnya telah menjadi korban penindasan. Strategi melumpuhkan perempuan biasanya sangat halus dan licin. Mangsa secara tidak sadar akan mengikuti pola permainan musuh. Sampai akhirnya masuk kedalam perangkap. Sekali waktu musuh akan mengkonstruksi pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk yang hanya boleh berada dalam sangkar domestik. Bahwa teritori mereka tidak boleh keluar dari pekarangan rumahnya. Sekali waktu musuh tadi menyusup dalam kungkungan budaya patriarki yang memandang bias terhadap perempuan. Perempuan di cap setengah makhluk, mereka sub ordinat.
Negara yang seharusnya membasmi praktek-praktek penindasan tersebut tidak melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan hukum. Lebih kejam lagi dalam beberapa kasus, mereka memelihara penindasan itu. Padahal secara tegas dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh negara bisa terjadi melalui dua praktek yang berbeda. Melalui tindakan langsung yang dilakukan oleh negara melalui aparaturnya (violence by commission) Atau bisa hanya melalui praktek pembiaran saja (Violence by ommission). Sekali waktu, Forum Komunikasi Aksi Mahasiswi Aceh (FKAMA) menyelenggarakan sebuah acara testimoni korban. Perempuan Aceh yang menjadi korban kekejaman tentara dihadirkan untuk berbagi penderitaan yang sekian lama terpendam. Pada saat itu –medio 1998- belum banyak institusi yang berani menyelenggarakan pertemuan serupa. Dengan bekal nekat dan semangat ingin mengungkap fakta kekerasan yang dilakukan oleh negara, strategi disusu. Sekumpulan mahasiswi muda dibantu oleh seorang pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh menggelar kesaksian korban. Satu persatu cerita perih mengalir. Tidaklah mudah bagi mereka –kala itu- menuturkan apa yang terjadi dan bagaimana itu terjadi. Apa dinyana, seorang petinggi militer mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Bahwa terjadinya perkosaan dan pelecehan seksual dalam periode perang adalah hal yang biasa. Karena kebutuhan biologis adalah alamiah. Oleh sebab itu apabila ianya terjadi di Aceh yang notabene daerah konflik maka semua orang termasuk si korban harap maklum saja.
Jelas sekali ini adalah pelecehan terhadap undang-undang yang berlaku. Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum telah mencoreng mukanya sendiri. Ini dilakukan justru oleh penegak hukum. Ironis sekali, tapi inilah kenyataan yang dihadapi. Perempuan sebagai korban, sekali lagi di korbankan. Akibat dari praktek bernegara yang menindasmasyarakat terpola sedemikian rupa untuk meminggirkan korban kejahatan negara. Sebut saja kasus yang menimpa ”M” Seorang perempuan yang dilecehkan semasa berlangsung Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dan perkosaan yang menimpa dirinya pun dianggap sebagai kompensasi yang setimpal atas perbuatannya. Pada waktu itu, barang siapa yang mengalami tindak kekerasan, dilecehkan, diperkosa atau dibunuh akan mengalami hal serupa. Stigma melawan negara ditempelkan kepadanya. Konsekuensinya tidak hanya di tanggung oleh diri sendiri. Sontak masyarakat akan menjatuhkan sanksi sosial, dia dan keluarganya di kucilkan.
Resiko dilecehkan oleh penegak hukum adalah hal yang sangat biasa. Maka bagi perempuan yang berani mengadukan persoalannya, kita wajib angkat salut. Salut karena yang pertama mereka berani menaklukkan rasa takut. Berani menghadapi kecaman dari keluarga dan masyarakat. Berani menantang resiko dilecehkan oleh aparat penegak hukum yang menerima laporannya. Sampai kepada berani menghadapi kenyataan apabila kasusnya bergerak hanya. Artinya tidak ada tindak lanjut dari cerita yang sudah dia sampaikan dengan susah payah dan penuh resiko. Tidak mustahil juga konsekuensi ancaman lanjutan karena pihak terkait yang tidak senang atas aduannya.
Melindungi; menjadi senjata ampuh yang di dendangkan oleh mereka yang mengaku melakukan perlindungan. Melakukan perlindungan dan menegakkan hukum menjadi peluru yang bakal menembus akal sehat semua orang. Alasan itu membius semua orang. Maka segala cara jadi halal demi mencapai tujuan itu. Memotong rambut, melempar tomat, bahkan di lecehkan sampai di perkosa menjadi persoalan yang tidak penting. Karena apa? Karena itu dilakukan oleh penegak kebenaran kepada mereka yang di klaim melakukan pelanggaran. Pelanggaran atas kesepakatan yang sepihak. Kesepakatan yang bias dan tidak berpihak. Lalu, dimana negara dalam situasi seperti ini? Negara bungkam.
Upaya sistematis yang dilakukan untuk membelenggu justru membuahkan perlawanan semesta. Selayaknya perjuangan yang dilakukan oleh golongan kaum tertindas lainnya. Perempuan juga merapatkan barisan, bersama melawan ketidak adilan. 8 maret menjadi simbol satu dari simbol perlawanan kaum tertindas. Sebagai kaum yang lazim termarjinal, perempuan kerap mengupayakan momentum agar perjuangan mereka di dengar.
Dimulai sejak 1909 sebagai kali pertama peringatan Hari Perempuan Sedunia. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1910, 1913, 1914 dan seterusnya hingga 1917. Kali yang disebutkan terakhir merupakan kesempatan yang sangat penting dalam sejarah peringatan Hari Perempuan Sedunia. Saat dimana bertepatan dengan terbunuhnya dua juta tentara Rusia karena perang. Para perempuan yang kerap menjadi korban terparah selama berlangsung perang, melangsungkan unjuk rasa menyerukan ”Roti dan Perdamaian”. Beberapa hari setelah kejadian itu, Rajapun turun tahta. Dan perempuan meraih haknya menjadi bagian dalam proses pemilu.
Hampir se abad perjuangan ini di lakukan, bahkan kalau melihat konteks Aceh. Beberapa abad sebelumnya perempuan sudah maju beberapa langkah dari perempuan di belahan dunia yang lain. Perempuan Aceh sudah menjadi Ratu, Menjadi Laksamana, Menjadi bagian dari institusi Putroe Phang dan sederetan kisah klasik perempuan Aceh yang hanya menghiasi buku sejarah lama. Kenapa sejarah itu tidka mampu terulang kembali di alam demkrasi seperti sekarnag? Dimana yang salah? Kenapa kondisi perempuan jauh merosot dibandingkan beratus tahun yang lalu?
Tidak terbilang ratifikasi instrumen hukum internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indoneisa. Mulai dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). CRC, CERD, dan ICCPR tidak luput di ratifikasi termasuk untuk memperjuangkan hak asasi perempuan. Apa konsekuensi dari ratifikasi itu? Disamping Pemerintah mengemban tanggung jawab untuk mentaati atau mejalankan semua kewajiban yang tertulis. Pemerintah juga diharuskan menerima sanksi apabila terbukti lalai dan atau melakukan pelanggaran. Kenyataanya itu tidak cukup mejadi jaminan hak perempuan dipenuhi. Seluruh kegelisahan masyarakat Aceh pun dipertaruhkan pada pelaksanaan MoU dan UUPA. Harapan perempuan Acehpun kemudian berujung kepada pelaksanaan MoU dan UUPA. Mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM menjadi harapan semua orang di Aceh, termasuk perempuan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana melaksanakan mekanisme KKR dan Pengadilan HAM ditengah kokohnya praktek bernegara yang militeristik dan bias jender.
Komnas Perempuan mencatatat setidaknya 103 kekeerasan terjadi selama tahun 1999 sampai dengan 200. Lebih dari setengahnya merupakan kasus kekerasan seksual. Lebih jauh lagi digambarkan kekerasaan itu berupa perkosaan, penyiksaan seksual, penghukuman yang tidak manusiawi, dan eksploitasi seksual. Mereka memiliki hak atas kebenaran dan mengetahui apa yang terjadi. Hak atas keadilan dan pemulihan. Pemerintah tidak bisa meneruskan pembiaran ini berlangsung. Harus ada kebijakan dan rencana kerja yang sistematis untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Negara yang maju adalah negara yang mampu menengakkan demokrasi. Negara yang maju adalah negara yang mampu memenuhi hak korban.
Negara yang seharusnya membasmi praktek-praktek penindasan tersebut tidak melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan hukum. Lebih kejam lagi dalam beberapa kasus, mereka memelihara penindasan itu. Padahal secara tegas dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh negara bisa terjadi melalui dua praktek yang berbeda. Melalui tindakan langsung yang dilakukan oleh negara melalui aparaturnya (violence by commission) Atau bisa hanya melalui praktek pembiaran saja (Violence by ommission). Sekali waktu, Forum Komunikasi Aksi Mahasiswi Aceh (FKAMA) menyelenggarakan sebuah acara testimoni korban. Perempuan Aceh yang menjadi korban kekejaman tentara dihadirkan untuk berbagi penderitaan yang sekian lama terpendam. Pada saat itu –medio 1998- belum banyak institusi yang berani menyelenggarakan pertemuan serupa. Dengan bekal nekat dan semangat ingin mengungkap fakta kekerasan yang dilakukan oleh negara, strategi disusu. Sekumpulan mahasiswi muda dibantu oleh seorang pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh menggelar kesaksian korban. Satu persatu cerita perih mengalir. Tidaklah mudah bagi mereka –kala itu- menuturkan apa yang terjadi dan bagaimana itu terjadi. Apa dinyana, seorang petinggi militer mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Bahwa terjadinya perkosaan dan pelecehan seksual dalam periode perang adalah hal yang biasa. Karena kebutuhan biologis adalah alamiah. Oleh sebab itu apabila ianya terjadi di Aceh yang notabene daerah konflik maka semua orang termasuk si korban harap maklum saja.
Jelas sekali ini adalah pelecehan terhadap undang-undang yang berlaku. Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum telah mencoreng mukanya sendiri. Ini dilakukan justru oleh penegak hukum. Ironis sekali, tapi inilah kenyataan yang dihadapi. Perempuan sebagai korban, sekali lagi di korbankan. Akibat dari praktek bernegara yang menindasmasyarakat terpola sedemikian rupa untuk meminggirkan korban kejahatan negara. Sebut saja kasus yang menimpa ”M” Seorang perempuan yang dilecehkan semasa berlangsung Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dan perkosaan yang menimpa dirinya pun dianggap sebagai kompensasi yang setimpal atas perbuatannya. Pada waktu itu, barang siapa yang mengalami tindak kekerasan, dilecehkan, diperkosa atau dibunuh akan mengalami hal serupa. Stigma melawan negara ditempelkan kepadanya. Konsekuensinya tidak hanya di tanggung oleh diri sendiri. Sontak masyarakat akan menjatuhkan sanksi sosial, dia dan keluarganya di kucilkan.
Resiko dilecehkan oleh penegak hukum adalah hal yang sangat biasa. Maka bagi perempuan yang berani mengadukan persoalannya, kita wajib angkat salut. Salut karena yang pertama mereka berani menaklukkan rasa takut. Berani menghadapi kecaman dari keluarga dan masyarakat. Berani menantang resiko dilecehkan oleh aparat penegak hukum yang menerima laporannya. Sampai kepada berani menghadapi kenyataan apabila kasusnya bergerak hanya. Artinya tidak ada tindak lanjut dari cerita yang sudah dia sampaikan dengan susah payah dan penuh resiko. Tidak mustahil juga konsekuensi ancaman lanjutan karena pihak terkait yang tidak senang atas aduannya.
Melindungi; menjadi senjata ampuh yang di dendangkan oleh mereka yang mengaku melakukan perlindungan. Melakukan perlindungan dan menegakkan hukum menjadi peluru yang bakal menembus akal sehat semua orang. Alasan itu membius semua orang. Maka segala cara jadi halal demi mencapai tujuan itu. Memotong rambut, melempar tomat, bahkan di lecehkan sampai di perkosa menjadi persoalan yang tidak penting. Karena apa? Karena itu dilakukan oleh penegak kebenaran kepada mereka yang di klaim melakukan pelanggaran. Pelanggaran atas kesepakatan yang sepihak. Kesepakatan yang bias dan tidak berpihak. Lalu, dimana negara dalam situasi seperti ini? Negara bungkam.
Upaya sistematis yang dilakukan untuk membelenggu justru membuahkan perlawanan semesta. Selayaknya perjuangan yang dilakukan oleh golongan kaum tertindas lainnya. Perempuan juga merapatkan barisan, bersama melawan ketidak adilan. 8 maret menjadi simbol satu dari simbol perlawanan kaum tertindas. Sebagai kaum yang lazim termarjinal, perempuan kerap mengupayakan momentum agar perjuangan mereka di dengar.
Dimulai sejak 1909 sebagai kali pertama peringatan Hari Perempuan Sedunia. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1910, 1913, 1914 dan seterusnya hingga 1917. Kali yang disebutkan terakhir merupakan kesempatan yang sangat penting dalam sejarah peringatan Hari Perempuan Sedunia. Saat dimana bertepatan dengan terbunuhnya dua juta tentara Rusia karena perang. Para perempuan yang kerap menjadi korban terparah selama berlangsung perang, melangsungkan unjuk rasa menyerukan ”Roti dan Perdamaian”. Beberapa hari setelah kejadian itu, Rajapun turun tahta. Dan perempuan meraih haknya menjadi bagian dalam proses pemilu.
Hampir se abad perjuangan ini di lakukan, bahkan kalau melihat konteks Aceh. Beberapa abad sebelumnya perempuan sudah maju beberapa langkah dari perempuan di belahan dunia yang lain. Perempuan Aceh sudah menjadi Ratu, Menjadi Laksamana, Menjadi bagian dari institusi Putroe Phang dan sederetan kisah klasik perempuan Aceh yang hanya menghiasi buku sejarah lama. Kenapa sejarah itu tidka mampu terulang kembali di alam demkrasi seperti sekarnag? Dimana yang salah? Kenapa kondisi perempuan jauh merosot dibandingkan beratus tahun yang lalu?
Tidak terbilang ratifikasi instrumen hukum internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indoneisa. Mulai dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). CRC, CERD, dan ICCPR tidak luput di ratifikasi termasuk untuk memperjuangkan hak asasi perempuan. Apa konsekuensi dari ratifikasi itu? Disamping Pemerintah mengemban tanggung jawab untuk mentaati atau mejalankan semua kewajiban yang tertulis. Pemerintah juga diharuskan menerima sanksi apabila terbukti lalai dan atau melakukan pelanggaran. Kenyataanya itu tidak cukup mejadi jaminan hak perempuan dipenuhi. Seluruh kegelisahan masyarakat Aceh pun dipertaruhkan pada pelaksanaan MoU dan UUPA. Harapan perempuan Acehpun kemudian berujung kepada pelaksanaan MoU dan UUPA. Mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM menjadi harapan semua orang di Aceh, termasuk perempuan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana melaksanakan mekanisme KKR dan Pengadilan HAM ditengah kokohnya praktek bernegara yang militeristik dan bias jender.
Komnas Perempuan mencatatat setidaknya 103 kekeerasan terjadi selama tahun 1999 sampai dengan 200. Lebih dari setengahnya merupakan kasus kekerasan seksual. Lebih jauh lagi digambarkan kekerasaan itu berupa perkosaan, penyiksaan seksual, penghukuman yang tidak manusiawi, dan eksploitasi seksual. Mereka memiliki hak atas kebenaran dan mengetahui apa yang terjadi. Hak atas keadilan dan pemulihan. Pemerintah tidak bisa meneruskan pembiaran ini berlangsung. Harus ada kebijakan dan rencana kerja yang sistematis untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Negara yang maju adalah negara yang mampu menengakkan demokrasi. Negara yang maju adalah negara yang mampu memenuhi hak korban.