Perempuan -tidak- Terasing di Negeri nan Makmur. (Sebuah peluang pelaksanaan Gender Budgeting di Aceh)
Perempuan Aceh adalah orang kaya. Bagaimana tidak, karena tempat dimana mereka berpijak adalah sebuah negeri subur nan kaya dengan segenap endapan harta berlimbah ruah. Tapi apakah perempuan kemudian menikmati kekayaan tersebut. Mungkin mereka hanya mampu menjadi penonton ketika kekayaan dikeruk habis tanpa sedikitpun memberi keuntungan bagi mereka. Jangankan menikmati hasilnya, mencium wanginyapun mungkin tidak. Atau lebih menyedihkan kalau justru perempuan menjadi korban yang sengsara diatas kemewahan tersebut. Hal ini tidak mustahil terjadi. Sebut saja indikator yang dekat dengan kita ; jumlah perempuan pengangguran yang tinggi, kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan dan anak-anak.
Tetapi, perempuan Aceh bisa menghela nafas lega sesaat demi melihat pasal demi pasal dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh – UUPA, yang sudah mengakomodir beberapa kebutuhan fundamen perempuan. Paling tidak ada beberapa pasal didalam UUPA yang secara eksplisit menuliskan peluang perempuan sebagai penerima manfaat seperti, tanggungjawab keterwakilan 30 % perempuan dalam Parlok, adanya tekanan khusus memberikan akses pendanaan seluas-luasnya kepada pegiat usaha perempuan (Pasal 154), adanya upaya pemberantasan diskriminasi pendidikan untuk perempuan (Pasal 215) dan adanya kewajiban pemerintah Aceh/Kabupaten dalam memajukan dan melindungi hak-hak perempuan serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat (Pasal 231).
Selain pasal-pasal tersebut, juga masih ada beberapa pasal lain yang juga sudah memberikan peluang kepada perempuan secara eksplisit maupun implisit. Disamping UUPA, ada instrumen hukum internasional yang sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia, yaitu Convention to Elimination on Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi hukum dari peratifikasian konvensi ini adalah bahwa Indonesia -dalam hal ini lebih khusus lagi Aceh sebagai bagian dari Indonesia- telah terikat secara legal formal untuk melaksanakan butir demi butir pasal yang termaktub didalamnya.
Pasal demi pasal tersebut tidak akan berdampak apa-apa tanpa disertai dengan instrumen kebijakan lain yang mendukung. Pasal tersebut baru merupakan pintu masuk yang masih memerlukan kunci pembuka. Dengan adanya instrumen kebijakan pendukung, dapat dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan preventive agar manfaat dari kemewahan tersebut sampai kepada lapisan masyarakat terendah. Salah satunya yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu dekat dan berdampak cepat adalah kebijakan anggaran yang sensitif gender (Gender Budgeting). Strategi khusus seperti ini layak untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah Aceh dalam rangka mencapai visi dan misinya.
Kebijakan anggaran yang sensitif gender adalah sebuah kebijakan politis yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara dimana dasar pertimbangan kebijakan tersebut adalah realitas dimana perempuan merupakan kelompok yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Pelaksanaan Kebijakan anggaran yang sensitif gender ini bisa dimulai melalui penglibatan masyarakat. Meminta mereka untuk pro-aktif mengidentifikasi persoalan dan kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi. Tidak hanya kebutuhan perempuan saja, tetapi
Sebagai contoh; DKI Jakarta mencoba melakukan upaya konkrit melalui pengingkatan kesejahteraan bagi guru-guru, dimana sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Ternyata kebijakan ini tidak hanya memberikan dampak kepada guru secara personal, tetapi juga berdampak kepada anak, orang tua, suami, adik , kakak dan lebih jauh kepada masyarakatnya. Sebuah e-mail disebarluaskan seorang teman menceritakan bagaimana seorang perempuan harus rela kehilangan anak yang dikandungnya sudah lebih dari 9 bulan. Karena ketubannya sudah pecah sebelum sempat dilahirkan. Jarak rumah sakit terdekat sekitar 60 KM. Tidak ada transportasi dari rumahnya ke rumah sakit tersebut. Jalan sangat jelek. Kejadian itu di malam hari, dimana cahaya sama sekali tidak ada.
Tahun ini saja pemerintahan aceh bertanggung jawab untuk mengelola anggaran diatas 17 Trilyun, angka yang sangat fantastis dalam sejarah Aceh kontemporer. Sekarang saat dimana pemerintah Aceh mendapatkan kesempatan mengelola anggaran sebegitu banyak. Tidak perlu kita tambahkan anggaran tersebut dengan anggaran lain yang berasal dari sumber diluarnya, seperti bantuan donor, NGO dan PBB termasuk anggaran yang dikelola oleh BRR. Sangat disayangkan, para pembuat kebijakan masih kurang paham dan tidak mampu melakukan analisis. Seringkali alokasi keuangan yang sensitif gender disamakan dengan sejumlah alokasi uang yang khusus untuk biro pemberdayaan perempuan. Ini menjadi alibi bagi penguasa secara turun temurun ketika mereka dikritik kebijakannya. Sebutkan saja alokasi keuangan pemda NAD untuk TA 2007 adalah : alokasi uang untuk Biro Pemberdayaan Perempuan sebesar 7 Milyar dari total anggaran.
Disamping gender budgeting, Pemerintah Aceh juga harus siap dengan sebuah sistem anti korupsi yang kokoh. Yang mampu memayungi dan melindungi dana tersbut hingga sampai kepada tujuannya. Hingga sampai kepada mereka yang berhak untuk menerima. Disamping itu juga diperlukan sebuah sistem penganggaran yang transparan. Dimana seluruh kelompok masyarkat mendapatkan informasi yang cukup kemana saja anggaran dialokasikan.
Yang perlu dimengerti bahwa dampak kebijakan anggaran berpersfektif gender ini tidak hanya kepada perempuan, melainkan juga akan dinikmati oleh laki-laki. Dengan kemampuan yang sangat besar, maka pemerintahan aceh memiliki peluang yang sangat strategis dalam mengimplementasikan Kebijakan anggaran yang sensitif gender. Janganlah menjadikan perempuan terasing ditengah kekayaan negerinya.
Tetapi, perempuan Aceh bisa menghela nafas lega sesaat demi melihat pasal demi pasal dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh – UUPA, yang sudah mengakomodir beberapa kebutuhan fundamen perempuan. Paling tidak ada beberapa pasal didalam UUPA yang secara eksplisit menuliskan peluang perempuan sebagai penerima manfaat seperti, tanggungjawab keterwakilan 30 % perempuan dalam Parlok, adanya tekanan khusus memberikan akses pendanaan seluas-luasnya kepada pegiat usaha perempuan (Pasal 154), adanya upaya pemberantasan diskriminasi pendidikan untuk perempuan (Pasal 215) dan adanya kewajiban pemerintah Aceh/Kabupaten dalam memajukan dan melindungi hak-hak perempuan serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat (Pasal 231).
Selain pasal-pasal tersebut, juga masih ada beberapa pasal lain yang juga sudah memberikan peluang kepada perempuan secara eksplisit maupun implisit. Disamping UUPA, ada instrumen hukum internasional yang sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia, yaitu Convention to Elimination on Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi hukum dari peratifikasian konvensi ini adalah bahwa Indonesia -dalam hal ini lebih khusus lagi Aceh sebagai bagian dari Indonesia- telah terikat secara legal formal untuk melaksanakan butir demi butir pasal yang termaktub didalamnya.
Pasal demi pasal tersebut tidak akan berdampak apa-apa tanpa disertai dengan instrumen kebijakan lain yang mendukung. Pasal tersebut baru merupakan pintu masuk yang masih memerlukan kunci pembuka. Dengan adanya instrumen kebijakan pendukung, dapat dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan preventive agar manfaat dari kemewahan tersebut sampai kepada lapisan masyarakat terendah. Salah satunya yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu dekat dan berdampak cepat adalah kebijakan anggaran yang sensitif gender (Gender Budgeting). Strategi khusus seperti ini layak untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah Aceh dalam rangka mencapai visi dan misinya.
Kebijakan anggaran yang sensitif gender adalah sebuah kebijakan politis yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara dimana dasar pertimbangan kebijakan tersebut adalah realitas dimana perempuan merupakan kelompok yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Pelaksanaan Kebijakan anggaran yang sensitif gender ini bisa dimulai melalui penglibatan masyarakat. Meminta mereka untuk pro-aktif mengidentifikasi persoalan dan kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi. Tidak hanya kebutuhan perempuan saja, tetapi
Sebagai contoh; DKI Jakarta mencoba melakukan upaya konkrit melalui pengingkatan kesejahteraan bagi guru-guru, dimana sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Ternyata kebijakan ini tidak hanya memberikan dampak kepada guru secara personal, tetapi juga berdampak kepada anak, orang tua, suami, adik , kakak dan lebih jauh kepada masyarakatnya. Sebuah e-mail disebarluaskan seorang teman menceritakan bagaimana seorang perempuan harus rela kehilangan anak yang dikandungnya sudah lebih dari 9 bulan. Karena ketubannya sudah pecah sebelum sempat dilahirkan. Jarak rumah sakit terdekat sekitar 60 KM. Tidak ada transportasi dari rumahnya ke rumah sakit tersebut. Jalan sangat jelek. Kejadian itu di malam hari, dimana cahaya sama sekali tidak ada.
Tahun ini saja pemerintahan aceh bertanggung jawab untuk mengelola anggaran diatas 17 Trilyun, angka yang sangat fantastis dalam sejarah Aceh kontemporer. Sekarang saat dimana pemerintah Aceh mendapatkan kesempatan mengelola anggaran sebegitu banyak. Tidak perlu kita tambahkan anggaran tersebut dengan anggaran lain yang berasal dari sumber diluarnya, seperti bantuan donor, NGO dan PBB termasuk anggaran yang dikelola oleh BRR. Sangat disayangkan, para pembuat kebijakan masih kurang paham dan tidak mampu melakukan analisis. Seringkali alokasi keuangan yang sensitif gender disamakan dengan sejumlah alokasi uang yang khusus untuk biro pemberdayaan perempuan. Ini menjadi alibi bagi penguasa secara turun temurun ketika mereka dikritik kebijakannya. Sebutkan saja alokasi keuangan pemda NAD untuk TA 2007 adalah : alokasi uang untuk Biro Pemberdayaan Perempuan sebesar 7 Milyar dari total anggaran.
Disamping gender budgeting, Pemerintah Aceh juga harus siap dengan sebuah sistem anti korupsi yang kokoh. Yang mampu memayungi dan melindungi dana tersbut hingga sampai kepada tujuannya. Hingga sampai kepada mereka yang berhak untuk menerima. Disamping itu juga diperlukan sebuah sistem penganggaran yang transparan. Dimana seluruh kelompok masyarkat mendapatkan informasi yang cukup kemana saja anggaran dialokasikan.
Yang perlu dimengerti bahwa dampak kebijakan anggaran berpersfektif gender ini tidak hanya kepada perempuan, melainkan juga akan dinikmati oleh laki-laki. Dengan kemampuan yang sangat besar, maka pemerintahan aceh memiliki peluang yang sangat strategis dalam mengimplementasikan Kebijakan anggaran yang sensitif gender. Janganlah menjadikan perempuan terasing ditengah kekayaan negerinya.