Bagaimana memastikan bahwa perempuan dan kelompok rentan lainnya menikmati kesejahteraan?. Pertanyaan ini sepintas sangat sederhana, tapi yakinlah ianya sangat sukar untuk dijawab. Ditambah lagi kalau jawabannya harus dibuktikan. Skenario pembangunan kembali paska bencana dan konflik memberikan jaminan untuk mengintegrasikan gender. Gender layaknya topik diskusi hangat yang men-semarakkan pertemuan perencanaan kegiatan. Bagi semua orang gender menjadi komponen penting yang harus di arus-utamakan. Untuk meneropong arus realisasi rencana tersebut, maka data menjadi jaminannya. Hanya data terpilah yang bisa menghidangkan deskripsi yang sangat detil dalam rangka akselerasi percepatan program dan pemberian manfaat. Didalam konteks ini termasuk ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin. Ketidak-tersediaan data terpilah merupakan salah satu faktor penghambat pemberdayaan perempuan. Itu kenapa dia menjadi komponen penting dan alat efektif dalam rangka pemberdayaan perempuan. Apalagi selama ini persoalan perempuan sering kali tidak muncul kepermukaan hanya karena metode pencarian dan penyampaian data yang tidak akurat, data tidak terpilah.
Data akan mewakili wujud realitas sosial, politik, ekonomi, adat budaya, dan hukum yang selama ini terjadi. Data layaknya cermin yang memantulkan gambaran yang menimpa masyarakat. Begitu juga halnya, data adalah perwujudan sejauh mana keberhasilan kegiatanyang telah dilakukan. Dalam skenario perencanaan, data awal memegang peranan penting sebagai starting point dan alat komparasi. Data menjamin tepat atau tidak tepatnya sasaran penerima manfaat. Data yang manipulatif akan menjadi kontraproduktif.
Data itu mahal, demikian sebait kata dalam rangkaian kalimat yang menghiasi billboard. Tidak tanggung-tanggung, billboard besar itu parkir di salah satu sudut kota Banda Aceh yang paling strategis. Paling tidak, ini membuktikan adanya itikad positif dari pemerintah dalam kaitannya memahami pentingnya data Termasuk memahami konsekuensi logis menyediakan data yang representatif. Memang benar adanya bahwa data tidak murah. Tetapi kompensasi sebagai buah kerja yang akan didapatkan akibat dari ketersediaan data akan sangat menguntungkan semua pihak, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Cost awal yang dikeluarkan untuk pelembagaan data, akan berbanding lurus dengan implikasi yang kemudian akan hadir. Semakin sempurna data yang disuguhkan maka akan semakin mahallah biaya yang harus dikeluarkan. Dalam waktu bersamaan juga akan semakin mempersempit peluang terjadinya korupsi. Sebagaimana sejumlah referensi memaparkan bahwa korupsi erat kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Perempuan menjadi penanggung resiko terbesar dampak korupsi yang selama ini terjadi. Hal ini dikarenakan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Manipulasi data sebagai bentuk kejahatan korupsi tidak hanya mengakibatkan anggaran yang membengkak (baca : sengaja di bengkakkan). Banyak lagi persoalan realita yang menghampiri perempuan sebagai korban manipulasi data. Sebut saja sertifikasi tanah dan atau rumah yang salah nama, hanya karena data yang salah. Implikasinya terhadap perempuan sangat significant. Karena selama ini, dalam kategori masyarakat miskin, perempuan juga keluar sebagia juara dengan mengantongi predikat sebagai populasi terbesar masyarakat miskin atau rentan. Akibat salah pencatatan, perempuan akan kehilangan sumber ekonomi. Akibat slanjutnya akan bertubi-tubi mengunjungi perempuan tanpa perlu terlalu lama menunggu. Itu kenapa, banyak sekali pihak berkepentingan yang bermain-main dengan penyediaan data. Dilain pihak, terjadi persaingan penguasaan data. Data hanya menjadi milik para pengendali kepentingan. Pihak inilah yang sebenarnya mengancam kesuksesan tata kelola pemerintahan. Tidak mustahil ada pihak tertentu yang akan dirugikan oleh hadirnya data riil. Bagi perempuan, para pihak yang dimaksud menjadi musuh bersama yang juga harus diwaspadai.
Data merupakan persoalan serius. Tidak sedikit tenaga dan waktu serta rupiah yang akan ditelan dalam rangka pembangunan sistem data yang memenuhi kebutuhan, menjawab persoalan dan mudah diakses oleh siapa saja. Oleh karena itu Data tidak juga bisa terlalu generik Kalau sampai hari ini kita belum bergantung kepada data terpilah, akan timbul pertanyaan besar; selama ini, apa yang menjadi landasan pemerintah dalam melakukan perencanaan program? Apakah cuap-cuap beberapa pasang mata ataukah sebatas politik balas budi yang menjadi landasan pelaksanaan program.
Melalui data, kita bisa meneropong sejauh mana masyarakat merasakan manfaat program kerja yang sudah dan sedan g dilaksanakan. Dalam konteks ini, perempuan dan kelompok rentan lainnya yang selalu luput dari komponen data akan menjadi pihak yang bisa jadi sangat dirugikan atau justru diuntungkan. Data sebagai alat merupakan media terbentuknya kepercayaan. Sekaligus dia dapat menjadi alat pembenaran dan atau pembuktian yang paling efektif. Dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahn akan semakin deras mengalir seiring dengan tersedianya data yang berpihak pada kebutuhan dan persoalan masyarakat. Sembrawutnya sistem data jelas juga mengaburkan idikator keberhasilan kerja-kerja pemerintah.. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa semakin baik tata kelola pemerintahannya, semakin baik pula metode pengumpulan, pengolahan dan penyajian datanya. Data menjadi agenda skala prioritas yang harus segera di kejawantahkan. Tidak tersedianya data terpilah yang menjawab kebutuhan dan persoalan merupakan manifestasi bobroknya sistem pemerintahan.
.
Data akan mewakili wujud realitas sosial, politik, ekonomi, adat budaya, dan hukum yang selama ini terjadi. Data layaknya cermin yang memantulkan gambaran yang menimpa masyarakat. Begitu juga halnya, data adalah perwujudan sejauh mana keberhasilan kegiatanyang telah dilakukan. Dalam skenario perencanaan, data awal memegang peranan penting sebagai starting point dan alat komparasi. Data menjamin tepat atau tidak tepatnya sasaran penerima manfaat. Data yang manipulatif akan menjadi kontraproduktif.
Data itu mahal, demikian sebait kata dalam rangkaian kalimat yang menghiasi billboard. Tidak tanggung-tanggung, billboard besar itu parkir di salah satu sudut kota Banda Aceh yang paling strategis. Paling tidak, ini membuktikan adanya itikad positif dari pemerintah dalam kaitannya memahami pentingnya data Termasuk memahami konsekuensi logis menyediakan data yang representatif. Memang benar adanya bahwa data tidak murah. Tetapi kompensasi sebagai buah kerja yang akan didapatkan akibat dari ketersediaan data akan sangat menguntungkan semua pihak, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Cost awal yang dikeluarkan untuk pelembagaan data, akan berbanding lurus dengan implikasi yang kemudian akan hadir. Semakin sempurna data yang disuguhkan maka akan semakin mahallah biaya yang harus dikeluarkan. Dalam waktu bersamaan juga akan semakin mempersempit peluang terjadinya korupsi. Sebagaimana sejumlah referensi memaparkan bahwa korupsi erat kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Perempuan menjadi penanggung resiko terbesar dampak korupsi yang selama ini terjadi. Hal ini dikarenakan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Manipulasi data sebagai bentuk kejahatan korupsi tidak hanya mengakibatkan anggaran yang membengkak (baca : sengaja di bengkakkan). Banyak lagi persoalan realita yang menghampiri perempuan sebagai korban manipulasi data. Sebut saja sertifikasi tanah dan atau rumah yang salah nama, hanya karena data yang salah. Implikasinya terhadap perempuan sangat significant. Karena selama ini, dalam kategori masyarakat miskin, perempuan juga keluar sebagia juara dengan mengantongi predikat sebagai populasi terbesar masyarakat miskin atau rentan. Akibat salah pencatatan, perempuan akan kehilangan sumber ekonomi. Akibat slanjutnya akan bertubi-tubi mengunjungi perempuan tanpa perlu terlalu lama menunggu. Itu kenapa, banyak sekali pihak berkepentingan yang bermain-main dengan penyediaan data. Dilain pihak, terjadi persaingan penguasaan data. Data hanya menjadi milik para pengendali kepentingan. Pihak inilah yang sebenarnya mengancam kesuksesan tata kelola pemerintahan. Tidak mustahil ada pihak tertentu yang akan dirugikan oleh hadirnya data riil. Bagi perempuan, para pihak yang dimaksud menjadi musuh bersama yang juga harus diwaspadai.
Data merupakan persoalan serius. Tidak sedikit tenaga dan waktu serta rupiah yang akan ditelan dalam rangka pembangunan sistem data yang memenuhi kebutuhan, menjawab persoalan dan mudah diakses oleh siapa saja. Oleh karena itu Data tidak juga bisa terlalu generik Kalau sampai hari ini kita belum bergantung kepada data terpilah, akan timbul pertanyaan besar; selama ini, apa yang menjadi landasan pemerintah dalam melakukan perencanaan program? Apakah cuap-cuap beberapa pasang mata ataukah sebatas politik balas budi yang menjadi landasan pelaksanaan program.
Melalui data, kita bisa meneropong sejauh mana masyarakat merasakan manfaat program kerja yang sudah dan sedan g dilaksanakan. Dalam konteks ini, perempuan dan kelompok rentan lainnya yang selalu luput dari komponen data akan menjadi pihak yang bisa jadi sangat dirugikan atau justru diuntungkan. Data sebagai alat merupakan media terbentuknya kepercayaan. Sekaligus dia dapat menjadi alat pembenaran dan atau pembuktian yang paling efektif. Dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahn akan semakin deras mengalir seiring dengan tersedianya data yang berpihak pada kebutuhan dan persoalan masyarakat. Sembrawutnya sistem data jelas juga mengaburkan idikator keberhasilan kerja-kerja pemerintah.. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa semakin baik tata kelola pemerintahannya, semakin baik pula metode pengumpulan, pengolahan dan penyajian datanya. Data menjadi agenda skala prioritas yang harus segera di kejawantahkan. Tidak tersedianya data terpilah yang menjawab kebutuhan dan persoalan merupakan manifestasi bobroknya sistem pemerintahan.
.