Langsung ke konten utama

Dibalik surat R.A Kartini

Seperti tanggal 21 April yang sudah-sudah, hampir seluruh sekolah dipastikan kembali memperingati tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Seperti biasa, semua murid akan memulai rutinitas lain dari biasanya. Semua dimulai dari kostum sekolah yang tidak mengenakan seragam seperti hari yang lain, tetapi kusus murid perempuan di wajibkan berkebaya dan bersanggul. Tidak lupa menggunakan sendal ber hak tinggi yang tentu saja tidak ramah untuk kaki kecil usia sekolah dasar. Selain tidak ramah dari segi kesehatan, selop tinggi pasti akan sulit dikenakan dengan kain panjang melilit badan. Apa dinyana, anak-anak itu senang mengenakannya. Mungkin karena ini berbeda dari biasanya, bersekolah dengan seragam yang sama hampir satu minggu penuh.

Perayaan selalu dimulai dengan melaksanakan upacara bendera, tujuannya untuk menghormati dan mengenang kembali jasa pahlawan Raden Adjeng Kartini. Keunikan kedua setelah seragam khususpun teridentifikasi; suasana upacara berbeda. Komandan upacara, pengibar bendera, paduan suara, pembaca teks sampai pembina upacara, semua nya perempuan. Disaat laki-laki mulai tersisih dari perayaan itu, satu lagi yang unik muncul dengan digelarnya serangkaian perlombaan. Seolah-olah hari Kartini hanya layak dirayakan oleh mereka yang berkelamin perempuan. Perlombaan pun diisi dengan ragam kegiatan yang identik dengan stereotipe seorang perempuan. Lomba memasang sanggul, memasang stagen, memasak dan menghias wajah.

Bukan hanya terjadi disekolah - sekolah, kalau kita menyalakan televisi pada hari yang sama akan terlihat penyiar dengan kebaya dan sanggul. Dikantor-kantor pun tidak ketinggalan para karyawan perempuan akan berdatangan dengan jalan tertatih tatih karena menggunakan kain sempit dan kepala berat disangkuti sanggul besar. Mungkin ceritanya akan sedikit berbeda kalau saja Kartini kebetulan lahir di Papua atau Bali, bisa dibayangkan para perempuan hari ini akan merayakan hari Kartini dengan mengenakan pakaian ala Papua atau Bali di tiap tanggal dan bulan yang sama. Tapi Kartini tidak berasal dari Papua atau Bali, dia lahir di Jepara 21 April 1879 dan wafat di Rembang, 17 September 1904. Kartini wafat hanya selang beberapa hari saja setelah melahirkan anaknya. Dia juga puteri dari seorang Bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Sastrodiningrat. Kartini juga cucu langsung dari Bupati Demak, Tjondronegoro.

Ilustrasi di atas terjadi hampir rata di nusantara tiap 21 April, dari tahun ke tahun. Perayaan Hari Kartini tidak lebih dari siapa yang mengenakan paduan kebaya tercantik dan mampu berlengak lenggok di panggung dengan sanggul besar dikepala. Siapa yang memasak lebih enak, itupun masih bergantung kepada indra perasa juri yang jelas sangat subjektif. Atau paling banter adalah lomba membacakan puisi bertemakan perjuangan RA Kartini. Tradisi yang sangat bergeser dari makna sejati perjuangan kartini ini tetap di langgengkan oleh Negara Indonesia. Sudah banyak diskursus yang bergulir seputar perayaan hari ini, termasuk eksistensi RA Kartini sebagai seorang pahlawan nasional yang tidak pernah sekalipun berjuang secara langsung seperti pahlawan perempuan lain yang gugur berhadapan dengan penjajah.

Seperti yang dituliskan oleh Gadis Arivia (2004), bahwa penguasa pada periode itu menggunakan Kartini sebagai alat untuk membungkam tokoh-tokoh perempuan non-Jawa. Arivia juga mencatat secara tajam bahwa sebenarnya Sumatera Barat beberapa tahun sebelumnya telah memiliki Siti Roehana dari Kotagadang. Roehana sangat berjasa dengan mendirikan Sekolah Perempuan pada tahun 1911 san setahun berikutnya mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe. Kenapa Roehana tidak terdengar gaungnya? Arivia menganalisa bahwa keberadaan Abdoel Koeddoes –suami Roehana- yang notabene adalah pemberontak menentang Belanda telah melunturkan citra Roehana dibandingkan dengan Kartini yang besar dalam keluarga feodal.

Beberapa kritik lain misalnya mempersoalkan konsistensi Kartini pada pemikiran kritisnya, karena Kartini kemudian mulai toleran pada adat kebudayaan yang semula dia kritik. Mulai dari kebersediaan dia menjalani masa pingitan sampai berkompromi dengan menikahi laki-laki yang pengalaman beberapa kali menikah sebelumnya. Kartini sebagai perempuan yang juga sangat gelisah akan nasib perempuan lainnya, hanya menuliskan nama sang Ayah dalam seluruh surat-suratnya tanpa sekalipun menyinggung nama sang Ibu yang anak mandor pabrik gula dan istri kesekian ayahnya.

Perdebatan ini juga sekaligus menggugat kembali kebijakan negara Indonesia yang menetapkan tanggal kelahiran RA Kartini 21 April sebagai hari besar. Hal ini tidak lain karena dianggap terlalu membesarkan seorang yang dekat dengan penjajah Belanda. Berbeda dengan pahlawan perempuan lain yang tanggal lahirnya tidak pernah diperingati, Kartini jelas-jelas tidak pernah menyentilkan semangat perlawanan menentang penjajahan Belanda.

Walau tanpa bedil, paling tidak Kartini memiliki semangat pembebasan perempuan dari penindasan lewat pemikirannya yang kritis ditengah struktur adat budaya yang sangat patriarlkal. Walaupun semangat nasionalisme Kartini banyak dipertanyakan orang. Tetapi bagi persoalan perempuan, sebuah kemerdekaan teritori belum tentu mampu menghadirkan kemerdekaan yang sejati kepada perempuan.

Kartini memang tidak mengusir penjajah kecuali mencoba memberikan pendidikan kepada perempuan sekitar bersama saudaranya yang lain. Satu lagi kelebihannya yang sedikit dimiliki banyak orang adalah kegiatan rutinnya mencoret sehelai kertas yang kemudian di dokumentasikan oleh generasi setelahnya sebagai bagian dari sejarah. Kemarin, hari ini dan besok adalah pondasi yang akan mengkonstruksi masa depan. Selamat berjuang perempuan!.

Postingan populer dari blog ini

Reviktimisasi Korban Akibat Kurang Bijak Menjaga Jemari

“Ayah…, maafin P ya yah, P udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi P berani sumpah kalau P gak pernah jual diri sama orang. Malam itu P Cuma mau nonton kibot (keyboard-red) di Langsa, terus P duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan P.” “Sekarang P gak tau harus gimana lagi, biarlah P pigi cari hidup sendiri, P gak da gunanya lagi sekarang. Ayah jangan cariin P ya..!!, nanti P juga pulang jumpai ayah sama Aris. Biarlah P belajar hidup mandiri, P harap ayah gak akan benci sama P, Ayah sayang kan sama P..???, P sedih kali gak bisa jumpa Ayah, maafin P ayah… Kakak sayang sama Aris, maafin kakak ya.. (P sayang Ayah).”  P, memilih mengakhiri hidupnya dengan seutas tali. Seperti dilansir Tribun News pada Selasa, 11 September 2012 lalu. Kemarin malam, saya sangat terkejut dengan bombardir berita di linimasa laman facebook. Penangkapan sejumlah laki-laki dan perempuan yang disangkakan menyalahgunakan narkotika, disertai foto-foto jelas, berikut nama dan alamatnya. Sung

KURSI-KURSI PATAH ( Cerita Pendek)

KURSI-KURSI PATAH H-40 “Kak, pergi terus ke SPBU Paya Meuneng ya, orang pak geuchik dah tunggu disitu. Nyak ke tempat Kak Darna sebentar, air asinnya macet lagi di dapur garam” itu yang tertangkap oleh indra pendengaran Biya. Suara Nyak tidak terlalu jelas. Beberapa kali kami bertelepon, tepat ketika Nyak berada di rumahnya, selalu saja suara yang terdengar tidak jelas. Padahal gampong Nyak berada di kecamatan Jangka. Dekat dengan kota Bireuen. Tidak juga terletak di lembah yang sulit menerima signal telepon. Sulit juga menerka alasan apa yang membuat sinyal telepon disitu tidak baik. Biya sendiri selalu lupa menanyakan penyebabnya pada Nyak. Kak Darna yang dimaksud Nyak adalah salah seorang tim pemenangan Biya. Kak Darna punya usaha dapur pembuatan garam di Jangka. Air asin sebagai bahan bakunya di dapat dari laut yang berjarak 50 meter saja dari pintu belakang tempat usahanya. Dialirkan melalui pipa panjang. Dipompa menggunakan mesin. Sudah beberapa bulan terakhir paso

AADL (Ada apa dengan Lokop?)

Lokop, mendengar atau membaca nama tersebut pasti membuat otak gatal untuk mulai bertanya, bagi yang tidak pernah mendengar pasti akan bertanya, didaerah mana ya Lokop itu? Bagi yang sdah pernah mendengar pertanyaanya bisa berbunyi ; bagaimana kondisinya sekarang ?, Lokop berjarak kurang lebih 80 KM dari Langsa. Perjalanan kesana memakan waktu kurang lebih 3 jam 45 menit terhitung dari Langsa. Kalau dimulai dari kota peurelak mungkin bisa ditepuh dengan waktu 3 jam saja. Sebenarnya perjalanan kesana tidak akan terlalu lama apbila jalan aspal (jalan propinsi) yang sudah dibuat oleh pemda tidak seburuk sekarang ini. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi jalan disana, mulai dari banjir bandang yang baru-baru ini melanda, truk kapasitas besar yang serign emlintas dengan muatan yang tidak ringan, curhahujan tinggi yang semakin sering mengikis pinggiran jalan. Curah hujan tinggi ternyata tidak hanya membuat pengikisan bibir jalan, tetapi juga membuat alur baru yangterkadang memotong jalan