Besok, 17 Januari 2008, akan dilaksanakan penandatanganan kontrak secara serentak di beberapa distrik. Untuk Regional 3, distrik yang telah siap hanya distrik Aceh Tenggara. Sebagai enanggung jawab program, aku harus ada disana menyaksikan prosesi penanda tanganan kontrak, bersama kontraktor, satker dan tentunya pemda.
Aku tidak sabar berbagi cerita, bagaimana aku berjuang dari Takengon ke Kuta Cane melalui Gayo Lues. Ah.. perjalanan 8 jam lebih yang sangat melelahkan dan menantang.
Dimulai dari pembuatan surat tugas. Surat tugas ku tidak ada yang tanda tangani karena kepala regional tidak di tempat. Ternyata, kemarin pak kepala regional keluar kota tanpa meninggalkan selembar suratpun yang menerangkan siapa pejabat yang bertanggung jawab sementara. Artinya...suratku tidak ada yang bisa menandatanganinya. Dan ini bukan kali pertama terjadi, di regional 3..pergi tanpa surat tugas tertanda tangani adalah biasa.
Masalah selanjutnya, salah satu anggota tim yang aku ajak serta ternyata belum menerima kontrak, jadi kalau dia ikut, dia tidak akan menerima perdiem. Jadilah kami main sulap dengan surat tugas. Kita mencantumkan nama staff lain yang tidak berangkat dan nanti uangnya akan di klaim oleh staff yang berangkat. (Udin.... yang ini masuk katagori korupsi bukan? Aku menganggapnya mempermudah aja..ah.. ternyata terminologi korupsi mudah di kaburkan oleh kepentingan)
Awalnya aku di iming imingi bahwa jarak tempuh ke Kuta Cane melalui gayo Lues hanya sekitar 5 jam saja. 3 jam Takengon – Gayo Lues, dan sisanya dari Gayo lues menuju Kuta Cane. Ah..biasa lah jarak segitu jauh, pikirku. Ternyata sodara-sodara.... ah...tipu muslihat itu mengakibatkan aku muntah, 3 kali!!
Tapi, rasa pusingku terobati dengan menikmati indahnya sungai ringkit dan alas berliuk, dengan arus tipis tapi deras –sulit sekali aku menggambarkan keindahan panorama tadi dalam tulisan- . berhubung aku mabuk, beberapa kali aku menggunakan alasan mau muntah hanya sekedar memuaskan rasa penasarannku seberapa dinginnya sungai ringkit dan sungai alas.
Tidak terlalu lama berjalan dari Takengon, tanjakan sudah curam. Pohon tumbang dan batu besar dari tebing yang menggelinding di pinggir jalan akibat hujan telah memperlambat jalan kendaraan kami. Jalan longsor di bibir jurang dengan ketinggian hampir 1500 m dari permukaan laut berhasil mengalihkan perhatianku dari mabuk kepada kengerian yang menantang. Aku bertanya apakah ini sudah klimaksnya, salah satu teman menjawab ” wah... ini sih baru iklannya aja kak!!” :-)
Semakin tinggi, vegetasi tumbuhan semakin unik. Pakis semakin besar. Pohon sudah mulai berjenggot. Suhu semakin lembab. Pinggiran jalan berlumut lebat. Bang Is dan Dewo berlomba-lomba berbagi cerita seram, perasaanku semakin bercampur aduk, antara mabuk, penasaran, takut dan geli. Cerita seramnya bukan hantu-hantuan, Cuma cerita harimau sumatera aja ang kadang-kadang turun.
Bang Is, pilot kami minta digantikan sebentar. Dewo yang memang dari tadi sudah gatal ingin membuat badan kami bergoyang di tikungan bergegas maju kedepan duduk di belakang kemudi. Bang Is merebahkan kursinya dan mulai bernyanyi. Ternyata Bang Is pintar nyanyi!! Kegemarannya jazz!! Dia mempersembahkan sekitar 7 lagu jazz kesukaanya. Tidak ketinggalan suara kami yang alhamdulillah fals juga mengiringi dia bernyanyi.
Di Ise-ise, aku tidak tahan lagi, harus berhenti untuk mengeluarkan isi perutku yang berputar sejak berangkat tadi. Di Ise-ise ini, aku mendapati pemandangan luar biasa indah, gunung yang berlapis2 dengan warna yang indah sekali. Mulai dari biru muda sampai barisan gunung yang jauh semakin gelap wananya. Kami berhenti sejenak, Dewo, bang Is menuju kedai kopi. Aku ditemani Lina turun ke sungai untuk buang hajat. Aku sih rencananya mau mutah, tapi urung, karena ternyata aku lebih sesak beol daripada sesak muntah :-).
Sekitar 20 menit di Ise-ise, kami melanjutkan perjalanan. Melewati Oak di depan. Jalan semakin mengecil. Tanaman semakin rapat. Malam semakin dingin. Kabut, jangan ditanya, tebal sekali. Radius pemandangan tidak terlalu lega kedepan. Dewo semakin hati-hati mengemudi. Semakin jauh, tanjakan semakin curam dan kelokan semakin tajam dan sering. Begitu juga dengan pemandangannya, semakin cantik pastinya.
Memasuki Gayo Lues, di sepanjang jalan..spanduk berisikan propaganda propinsi ALA begitu semarak menghiasi jalan raya. Isinya macam-maca. Intinya mengajak semua pihak mendukung pembentukan propinsi tersebut. Tidak lupa dalam beberapa spanduk, di tuliskan keterbelakangan daerah itu sebagai salah satu alasan kenapa pemekaran itu menjadi penting dan kontekstual. Memang kalau kita lihat bagaimana kondisi masyarakat disana, sepintas permintaan itu adalah rasional sekali.
Tidak lama kami sampai di pusat kota Gayo Lues. Makan malam, makan jagung bakar, kami tancap gas ke Kuta Cane. Teman ku benar, Takengon – gayo Lues, penuh dengan debar – debar menyenangkan. Tapi harus sangat (!) hati-hati. Tidak lama kita sampai di Kuta Cane. Masuk kamar, ganti baju. Dan menulis cerita yang sedang kalian nikmati ini.
Aku tidak sabar berbagi cerita, bagaimana aku berjuang dari Takengon ke Kuta Cane melalui Gayo Lues. Ah.. perjalanan 8 jam lebih yang sangat melelahkan dan menantang.
Dimulai dari pembuatan surat tugas. Surat tugas ku tidak ada yang tanda tangani karena kepala regional tidak di tempat. Ternyata, kemarin pak kepala regional keluar kota tanpa meninggalkan selembar suratpun yang menerangkan siapa pejabat yang bertanggung jawab sementara. Artinya...suratku tidak ada yang bisa menandatanganinya. Dan ini bukan kali pertama terjadi, di regional 3..pergi tanpa surat tugas tertanda tangani adalah biasa.
Masalah selanjutnya, salah satu anggota tim yang aku ajak serta ternyata belum menerima kontrak, jadi kalau dia ikut, dia tidak akan menerima perdiem. Jadilah kami main sulap dengan surat tugas. Kita mencantumkan nama staff lain yang tidak berangkat dan nanti uangnya akan di klaim oleh staff yang berangkat. (Udin.... yang ini masuk katagori korupsi bukan? Aku menganggapnya mempermudah aja..ah.. ternyata terminologi korupsi mudah di kaburkan oleh kepentingan)
Awalnya aku di iming imingi bahwa jarak tempuh ke Kuta Cane melalui gayo Lues hanya sekitar 5 jam saja. 3 jam Takengon – Gayo Lues, dan sisanya dari Gayo lues menuju Kuta Cane. Ah..biasa lah jarak segitu jauh, pikirku. Ternyata sodara-sodara.... ah...tipu muslihat itu mengakibatkan aku muntah, 3 kali!!
Tapi, rasa pusingku terobati dengan menikmati indahnya sungai ringkit dan alas berliuk, dengan arus tipis tapi deras –sulit sekali aku menggambarkan keindahan panorama tadi dalam tulisan- . berhubung aku mabuk, beberapa kali aku menggunakan alasan mau muntah hanya sekedar memuaskan rasa penasarannku seberapa dinginnya sungai ringkit dan sungai alas.
Tidak terlalu lama berjalan dari Takengon, tanjakan sudah curam. Pohon tumbang dan batu besar dari tebing yang menggelinding di pinggir jalan akibat hujan telah memperlambat jalan kendaraan kami. Jalan longsor di bibir jurang dengan ketinggian hampir 1500 m dari permukaan laut berhasil mengalihkan perhatianku dari mabuk kepada kengerian yang menantang. Aku bertanya apakah ini sudah klimaksnya, salah satu teman menjawab ” wah... ini sih baru iklannya aja kak!!” :-)
Semakin tinggi, vegetasi tumbuhan semakin unik. Pakis semakin besar. Pohon sudah mulai berjenggot. Suhu semakin lembab. Pinggiran jalan berlumut lebat. Bang Is dan Dewo berlomba-lomba berbagi cerita seram, perasaanku semakin bercampur aduk, antara mabuk, penasaran, takut dan geli. Cerita seramnya bukan hantu-hantuan, Cuma cerita harimau sumatera aja ang kadang-kadang turun.
Bang Is, pilot kami minta digantikan sebentar. Dewo yang memang dari tadi sudah gatal ingin membuat badan kami bergoyang di tikungan bergegas maju kedepan duduk di belakang kemudi. Bang Is merebahkan kursinya dan mulai bernyanyi. Ternyata Bang Is pintar nyanyi!! Kegemarannya jazz!! Dia mempersembahkan sekitar 7 lagu jazz kesukaanya. Tidak ketinggalan suara kami yang alhamdulillah fals juga mengiringi dia bernyanyi.
Di Ise-ise, aku tidak tahan lagi, harus berhenti untuk mengeluarkan isi perutku yang berputar sejak berangkat tadi. Di Ise-ise ini, aku mendapati pemandangan luar biasa indah, gunung yang berlapis2 dengan warna yang indah sekali. Mulai dari biru muda sampai barisan gunung yang jauh semakin gelap wananya. Kami berhenti sejenak, Dewo, bang Is menuju kedai kopi. Aku ditemani Lina turun ke sungai untuk buang hajat. Aku sih rencananya mau mutah, tapi urung, karena ternyata aku lebih sesak beol daripada sesak muntah :-).
Sekitar 20 menit di Ise-ise, kami melanjutkan perjalanan. Melewati Oak di depan. Jalan semakin mengecil. Tanaman semakin rapat. Malam semakin dingin. Kabut, jangan ditanya, tebal sekali. Radius pemandangan tidak terlalu lega kedepan. Dewo semakin hati-hati mengemudi. Semakin jauh, tanjakan semakin curam dan kelokan semakin tajam dan sering. Begitu juga dengan pemandangannya, semakin cantik pastinya.
Memasuki Gayo Lues, di sepanjang jalan..spanduk berisikan propaganda propinsi ALA begitu semarak menghiasi jalan raya. Isinya macam-maca. Intinya mengajak semua pihak mendukung pembentukan propinsi tersebut. Tidak lupa dalam beberapa spanduk, di tuliskan keterbelakangan daerah itu sebagai salah satu alasan kenapa pemekaran itu menjadi penting dan kontekstual. Memang kalau kita lihat bagaimana kondisi masyarakat disana, sepintas permintaan itu adalah rasional sekali.
Tidak lama kami sampai di pusat kota Gayo Lues. Makan malam, makan jagung bakar, kami tancap gas ke Kuta Cane. Teman ku benar, Takengon – gayo Lues, penuh dengan debar – debar menyenangkan. Tapi harus sangat (!) hati-hati. Tidak lama kita sampai di Kuta Cane. Masuk kamar, ganti baju. Dan menulis cerita yang sedang kalian nikmati ini.