Sama halnya dengan komunitas ekonomi lemah lainnya, perempuan kerap di identikkan sebagai kelompok masyarakat yang memerlukan belas kasihan. Bahwa mereka dilabelkan sebagai makhluk tanpa daya yang hanya mampu menerima. Anggapan sedemikian bertabrakan dengan situasi dimana perempuan justru memiliki peranan besar dalam realitas sosial ekonomi masyarakat. Perempuan mampu menghancurkan discourse sarat makna negatif kepada fakta bahwa mereka bukanlah makhluk lemah seperti yang selama ini sudah di labelkan. Perempuan bukan makhluk yang hanya mampu berpangku tangan sambil menunggu aliran uang masuk dari ayahnya, suaminya, atau saudara laki-lakinya. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah perempuan juga mampu menjaminkan hadirnya sumber pendapatan terhadap dirinya sendiri, keluarga intinya bahkan kepada keluarga besarnya. Dalam skala nasional, perempuan memegang peranan penting paska terjadinya krisis moneter. Pada saat itu, sekian banyak laki-laki menerima konsekuensi logis porak porandanya ekonomi sebagai basis negara. Kerumitan itu juga menghempas Aceh, bahkan lebih kompleks lagi. Pada waktu bersamaan, di Aceh terjadi konflik bersenjata. Segera dalam fase konstalasi konflik sedang memuncak, terjadi bencana alam gempa dan gelombang Tsunami. Laki-laki dan perempuan menjadi korban konflik. Hanya saja yang membedakan adalah, perempuan tinggal bersama komunitasnya sedangkan laki-laki tidak lagi. Yang disebut terakhir harus meninggalkan masyarakatnya apakah karena sengaja atau terpaksa. Dalam kurun waktu yang genting itulah perempuan memaksa masyarakat mengakui bahwasanya mereka memang memiliki kapasitas dan konstribusi terhadap pemulihan kondisi ekonomi sosial.
Bila dikatakan negara tidak menyediakan bantuan kepada masyarakat untuk pengembangan kegiatan ekonominya, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Adalah sejumlah dana tidak bergeming di bank, yang konon kabarnya diperuntukkan guna mengungkit kegiatan ekonomi di Aceh. Ada juga koperasi yang menyediakan sejumlah bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Bantuan itu sangat sukar di akses oleh perempuan. Masalahnya sederhana saja, persyaratan yang di ajukan tidak mampu dipenuhi oleh perempuan. Syarat yang semestinya dibuat semudah mungkin kelihatannya dibuat sebaliknya. Sebutkan saja syarat agunan berupa tanah atau rumah atau kendaraan bermotor. Sedangkan barang tersebut kenyataanya hampir rata di sertifikasi atas nama laki-laki. Apa dinyana, penelitian demi penelitian membuktikan bahwa masyarakat miskin di dominasi oleh kelamin perempuan.
Aceh yang pola ekonominya masih tradisional dimana industri yang digunakan untuk mendukung kegiatan ekonomi rakyat masih sangat lemah. Akibatnya, buruh yang digunakan juga tidak di hitung secara profesional. Itulah yang terjadi terhadap perempuan di Aceh. Mereka yang bekerja pada sektor pertanian sebagai landasan sektor riil di Aceh, sering kali tidak menerima upah. Yang mana hal sedemikian merupakan implikasi langsung akibat dari anggapan terhadap perempuan sebagai sub ordinat. Bangunan sosial yang demikianlah secara mudah terintegrasikan kedalam sistem ekonomi. Harus diakui bahwa pondasi ekonomi Aceh dan Indonesia dibangun bersandarkan atas peradaban kapitalistik yang bias jender.
Sebuah contoh strategi penguatan ekonomi yang sangat cerdas melalui pemberdayaan perempuan dilakukan di beberapa tempat di afrika. Hal mana dilakukan melalui sertifikasi harta dan barang berharga atas nama bersama, laki-laki dan perempuan. Sepintas nampak sangatlah sederhana, apalah pentingnya sebuah nama diatas secarik kertas. Ternyata implikasi yang ditimbulkan dari pembubuhan nama tersebut sangat signifikan. Di Afrika, perempuan tidak dapat mengakses dana kredit karena tidak memiliki agunan. Segera setelah disosialisasikan program sertifikasi harta atas nama bersama, perempuan sudah mulai dapat mengakses bantuan tanpa harus repot-repot melengkapi persyaratan lain yang cukup panjang dan rumit. Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh perempuan hanyalah akses, bukan belas kasihan.
Demikian halnya program Grameen Bank (bank Desa) yang dilakukan oleh Dr Muhammad Yunus di Banglades, dimana sasaran programnya sangat jelas dan tepat; Perempuan Miskin. Bukan hanya mereka yang miskin secara ekonomi yang menjadi target program ini, tetapi juga mereka yang miskin pemenuhan hak dasarnya. Strategi Yunus yang mengutamakan perempuan sebagai peminjam dengan resiko rendah telah berujung kepada kebangkitan ekonomi rakyat miskin, khususnya perempuan. Dalam waktu bersamaan Yunus juga membuktikan bahwa faktor akses juga mengangkat perempuan menjadi tenaga produktif.
Sulitnya perempuan untuk mengakses bantuan, juga harus di barengi dengan quota bantuan yang ditujukan langsung kepada perempuan. Apalagi selama ini perempuan sering tersisih dalam persaingan karena di cap bukan sebagai modal sosial. Sehingga bantuan yang ada hanya berputar di pinggiran meja para penguasa. Hanya mereka yang mampu menyentuh sisi meja tersebut saja yang lolos daftar pemohon pinjaman.
Aceh kini tengah bergulat mengatasi inflasi sebesar kurang-lebih 11%. Dimana angka inflasi level nasional hanya setengahnya atau sekitar 7 %. Tanpa menggunakan kaca pembesarpun angka ini sudah layak untuk ditakuti. Masyarakat yang awam bisa saja mengabaikan angka inflasi di Aceh dan Nasional. Tetapi pemerintah sangat tidak mungkin membiarkan angka ini terus menanjak drastis dari waktu ke waktu. Konstruksi ekonomi berhubungan erat dengan konstruksi politik. Kalaulah pemerintahan itu berpihak pada rakyat miskin, maka tercermin melalui akses dan fasilitas yang tersedia dan mudah didapat oleh rakyat yang miskin. Dengan adanya aliran deras uang ke aceh, diharuskan juga kepada Pemerintah agar lebih kreatif. Jangan dibiarkan uang yang tersedia mengendap di dalam brangkas besi bank atau berputar putar di luar Aceh. Harus ada strategi cerdas dari pemerintah. Strategi itu adalah strategi yang promiskin dan tidak bias gender.
Bila dikatakan negara tidak menyediakan bantuan kepada masyarakat untuk pengembangan kegiatan ekonominya, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Adalah sejumlah dana tidak bergeming di bank, yang konon kabarnya diperuntukkan guna mengungkit kegiatan ekonomi di Aceh. Ada juga koperasi yang menyediakan sejumlah bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Bantuan itu sangat sukar di akses oleh perempuan. Masalahnya sederhana saja, persyaratan yang di ajukan tidak mampu dipenuhi oleh perempuan. Syarat yang semestinya dibuat semudah mungkin kelihatannya dibuat sebaliknya. Sebutkan saja syarat agunan berupa tanah atau rumah atau kendaraan bermotor. Sedangkan barang tersebut kenyataanya hampir rata di sertifikasi atas nama laki-laki. Apa dinyana, penelitian demi penelitian membuktikan bahwa masyarakat miskin di dominasi oleh kelamin perempuan.
Aceh yang pola ekonominya masih tradisional dimana industri yang digunakan untuk mendukung kegiatan ekonomi rakyat masih sangat lemah. Akibatnya, buruh yang digunakan juga tidak di hitung secara profesional. Itulah yang terjadi terhadap perempuan di Aceh. Mereka yang bekerja pada sektor pertanian sebagai landasan sektor riil di Aceh, sering kali tidak menerima upah. Yang mana hal sedemikian merupakan implikasi langsung akibat dari anggapan terhadap perempuan sebagai sub ordinat. Bangunan sosial yang demikianlah secara mudah terintegrasikan kedalam sistem ekonomi. Harus diakui bahwa pondasi ekonomi Aceh dan Indonesia dibangun bersandarkan atas peradaban kapitalistik yang bias jender.
Sebuah contoh strategi penguatan ekonomi yang sangat cerdas melalui pemberdayaan perempuan dilakukan di beberapa tempat di afrika. Hal mana dilakukan melalui sertifikasi harta dan barang berharga atas nama bersama, laki-laki dan perempuan. Sepintas nampak sangatlah sederhana, apalah pentingnya sebuah nama diatas secarik kertas. Ternyata implikasi yang ditimbulkan dari pembubuhan nama tersebut sangat signifikan. Di Afrika, perempuan tidak dapat mengakses dana kredit karena tidak memiliki agunan. Segera setelah disosialisasikan program sertifikasi harta atas nama bersama, perempuan sudah mulai dapat mengakses bantuan tanpa harus repot-repot melengkapi persyaratan lain yang cukup panjang dan rumit. Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh perempuan hanyalah akses, bukan belas kasihan.
Demikian halnya program Grameen Bank (bank Desa) yang dilakukan oleh Dr Muhammad Yunus di Banglades, dimana sasaran programnya sangat jelas dan tepat; Perempuan Miskin. Bukan hanya mereka yang miskin secara ekonomi yang menjadi target program ini, tetapi juga mereka yang miskin pemenuhan hak dasarnya. Strategi Yunus yang mengutamakan perempuan sebagai peminjam dengan resiko rendah telah berujung kepada kebangkitan ekonomi rakyat miskin, khususnya perempuan. Dalam waktu bersamaan Yunus juga membuktikan bahwa faktor akses juga mengangkat perempuan menjadi tenaga produktif.
Sulitnya perempuan untuk mengakses bantuan, juga harus di barengi dengan quota bantuan yang ditujukan langsung kepada perempuan. Apalagi selama ini perempuan sering tersisih dalam persaingan karena di cap bukan sebagai modal sosial. Sehingga bantuan yang ada hanya berputar di pinggiran meja para penguasa. Hanya mereka yang mampu menyentuh sisi meja tersebut saja yang lolos daftar pemohon pinjaman.
Aceh kini tengah bergulat mengatasi inflasi sebesar kurang-lebih 11%. Dimana angka inflasi level nasional hanya setengahnya atau sekitar 7 %. Tanpa menggunakan kaca pembesarpun angka ini sudah layak untuk ditakuti. Masyarakat yang awam bisa saja mengabaikan angka inflasi di Aceh dan Nasional. Tetapi pemerintah sangat tidak mungkin membiarkan angka ini terus menanjak drastis dari waktu ke waktu. Konstruksi ekonomi berhubungan erat dengan konstruksi politik. Kalaulah pemerintahan itu berpihak pada rakyat miskin, maka tercermin melalui akses dan fasilitas yang tersedia dan mudah didapat oleh rakyat yang miskin. Dengan adanya aliran deras uang ke aceh, diharuskan juga kepada Pemerintah agar lebih kreatif. Jangan dibiarkan uang yang tersedia mengendap di dalam brangkas besi bank atau berputar putar di luar Aceh. Harus ada strategi cerdas dari pemerintah. Strategi itu adalah strategi yang promiskin dan tidak bias gender.