Akhir desember lalu aku terima memo mutasi wilayah kerja, yang sekaligus merubah tanggung kerja. Aku akan kerja di Regional 3 BRR. Berarti, harus bolak balik antara Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Hm... akan ada berkali-kali perjalanan menarik antara 4 kabupaten di tengah provinsi Aceh.
Sebenarnya Kepala Regional sudah berbaik hati meminta salah seorang supir untuk menjemputku. Tapi entah kenapa aku dirasuki rasa kangen yang begitu berat untuk naik Bireuen Express (biasanya orang-orang hanya cukup menyingkat angkutan rakyat itu dengan BE saja). Disamping cerita Mia dengan perjalanan malamnya yg membuat aku makin kangen dengan B E. Memang, setelah di ingat-ingat, kali terakhir aku naik BE itu tahun 2000an awal atau sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu itu, karena keterbatasan alat transportasi, BE menjadi jawara penolong bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dan niat-ku pun semakin mantap untuk kembali menikmati perjalanan kali ini dengan bis berwarna kuning “nge-jreng” itu. Jadilah aku merencanakan perjalanan ini dengan sungguh-sungguh supaya lebih asik.
Azan subuh baru saja berkumandang. Si mamak tergopoh-gopoh menyingkap tirai kelambu dan menarik selimut, mencoba membangunkan aku. Masalahnya B E ke Takengon akan berangkat paling cepat jam 6 pagi. Jadi supaya tidak terlalu telat dijalan, maka aku harus segera bangun. Bukannya karena macet sih, tapi menikmati khidmatnya prosesi merangkak sang matahari akan terlewat, kalau aku telat berangkat. Udara pagi yang dingin, bercampur dengan hangatnya matahari pagi. Pasti asik!!
Melihat kelambatan gayaku, si bapak langsung membawa semua barang bawaan ke jalan raya sambil berjaga-jaga jangan sampai bisnya lewat. Air begitu dingin ketika menyentuh tubuhku. Butirannya seperti masuk hingga kedalam tulang, merembes dan mengalir bersama darah. Agar tidak terasa semakin dingin, aku percepat seka menyeka di kamar mandi dan bergegas lari ke kamar untuk bersalin.
Diluar kamar, aku dengar mamak membuka pintu depan, mengenakan sendalnya dan keluar rumah. Tidak lama dia pulang menenteng satu bungkus nasi gurih “ini nasi gurih buatan kak Radiah, udah mamak pesan dari kemarin, dia kasih ayamnya dua potong karena mamak bilang untuk kamu makan di B E nanti”. Ah..tidak sabar membayangkan makan di B E yang jalan super lambat sambil melihat keluar jendela. Aku pastikan kamera, hp dan barang penting lain berada di tempat yang terjangkau. Ternyata batre hp ku tidak penuh terisi. Aku sudah bisa membayangkan hp tanpa batre pasti malah akan merepotkan, berat tanpa bisa di fungsikan. Ah sudahlah, takengon kan tidak besar, kalau nyasar paling disitu2 juga.
Tidak terlalu banyak orang di B E. Hanya sekitar 8 orang saja. Yang lucunya B E jadi mirip dengan bis antar jemput perawat. Karena penumpang selain aku hampir rata menggunakan seragam perawat. Ternyata dugaanku tidak salah, mereka turun di Pustu dan Puskesmas setelah melewati 60 kilometer dari Bireuen. Menempuh jarak 2 jam ..lumayan saja. Apakah itu layak dijadikan pembenaran bagi mereka datang telat dan pulang cepat?
Aku melewati sedikit perkebunan kopi. Rangkaian bunga bunga kopi yang masih bermandikan embun, nampak menawan di terpa sejuknya sinar matahari. Kabut lembut yang menerawang mulai terhapus oleh sinar matahari. Mungkin tidak banyak yang tau, kalau bunga putih bersih itu memiliki wangi yang semerbak. Mungkin juga tidak banyak yang tau, kalau buah kopi segar yang sudah masak memiliki rasa yang manis.
Batang-batang pinus tua dan muda berjejer jarang-jarang di sepanjang lereng bukit barisan. Deretannya sudah semakin jauh. Bahkan banyak lereng sudah gundul. Hanya tersisa hamparan ilalang hijau saja. Kasian... Dulu mamak pernah cerita, waktu abangku lahir tahun 1972, pohon itu baru saja di tanam oleh PT Inhutani. Bahkan salah satu adiknya ikut dalam proses penanaman itu. Dan, masih menurut mamak, sudah ada kesepakatan antara pemda dan inhutani bahwa pinus itu bisa ditebang 30 tahun kemudian. Gak kebayang kalau lereng itu gundul.
Aku juga pernah dengar cerita salah satu calon investor yang dibawa teman dari Malaysia, kita ketemu di solong tahun lalu. Dia bilang, getah pinus itu sangat mahal. Masyarakat Aceh Tengah dan sekitarnya seharusnya mendapatkan dukungan yang cukup demi melestarikan pinus dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi, seingat aku hanya satu dua batang saja yang getahnya di sadap. Dulu, aku pernah lihat ada kilang getah pinus di Seulawah. Ntah kenapa sekarang tidak ada lagi. Pinus di sana juga sama nasibnya dengan pinus di Takengon sini, jarang-jarang.
Beberapa kali B E berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang. Yang lucu, satu kali dia berhenti di KM 65, Timang Gajah 1. Aku bergegas menutupi sebagian wajahku dengan tangan. Takut kalau-kalau ada orang yang menandaiku. Si mamak asli dari situ, hampir rata penduduk timang gajah 1 saudara kami. Aku geli juga, kok mesti takut ketemu saudara sendiri. Sebenarnya bukan takut sih, tapi demi mengingat sumpah serapah dan omelan yang keluar dari mulut mereka karena lama tidak main kesana. Belum lagi kalau ditarik turun dan harus bermalam disana...:-)
Sukurlah, tidak lama bis berjalan, melalui Lampahan, Simpang Balik, dan Teritit. Melewati Bener Meriah, memasuki Aceh Tengah. Dari jauh Danau Laut tawar sudah menghampar. Kebayangkan akan tinggal beberapa tahun di kota yang jaraknya hampir seharian ke Banda Aceh atau Medan. Tidak ada Solong, pantai Lhoknga, apalagi Canai Mamak. Tapi aku optimis, walaupun tidak seindah tempat kalian berada, aku yakin, disini aku juga bisa berbagi cerita kepada kalian, cerita yang tidak kalah manis dan hangat.
Sebenarnya Kepala Regional sudah berbaik hati meminta salah seorang supir untuk menjemputku. Tapi entah kenapa aku dirasuki rasa kangen yang begitu berat untuk naik Bireuen Express (biasanya orang-orang hanya cukup menyingkat angkutan rakyat itu dengan BE saja). Disamping cerita Mia dengan perjalanan malamnya yg membuat aku makin kangen dengan B E. Memang, setelah di ingat-ingat, kali terakhir aku naik BE itu tahun 2000an awal atau sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu itu, karena keterbatasan alat transportasi, BE menjadi jawara penolong bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dan niat-ku pun semakin mantap untuk kembali menikmati perjalanan kali ini dengan bis berwarna kuning “nge-jreng” itu. Jadilah aku merencanakan perjalanan ini dengan sungguh-sungguh supaya lebih asik.
Azan subuh baru saja berkumandang. Si mamak tergopoh-gopoh menyingkap tirai kelambu dan menarik selimut, mencoba membangunkan aku. Masalahnya B E ke Takengon akan berangkat paling cepat jam 6 pagi. Jadi supaya tidak terlalu telat dijalan, maka aku harus segera bangun. Bukannya karena macet sih, tapi menikmati khidmatnya prosesi merangkak sang matahari akan terlewat, kalau aku telat berangkat. Udara pagi yang dingin, bercampur dengan hangatnya matahari pagi. Pasti asik!!
Melihat kelambatan gayaku, si bapak langsung membawa semua barang bawaan ke jalan raya sambil berjaga-jaga jangan sampai bisnya lewat. Air begitu dingin ketika menyentuh tubuhku. Butirannya seperti masuk hingga kedalam tulang, merembes dan mengalir bersama darah. Agar tidak terasa semakin dingin, aku percepat seka menyeka di kamar mandi dan bergegas lari ke kamar untuk bersalin.
Diluar kamar, aku dengar mamak membuka pintu depan, mengenakan sendalnya dan keluar rumah. Tidak lama dia pulang menenteng satu bungkus nasi gurih “ini nasi gurih buatan kak Radiah, udah mamak pesan dari kemarin, dia kasih ayamnya dua potong karena mamak bilang untuk kamu makan di B E nanti”. Ah..tidak sabar membayangkan makan di B E yang jalan super lambat sambil melihat keluar jendela. Aku pastikan kamera, hp dan barang penting lain berada di tempat yang terjangkau. Ternyata batre hp ku tidak penuh terisi. Aku sudah bisa membayangkan hp tanpa batre pasti malah akan merepotkan, berat tanpa bisa di fungsikan. Ah sudahlah, takengon kan tidak besar, kalau nyasar paling disitu2 juga.
Tidak terlalu banyak orang di B E. Hanya sekitar 8 orang saja. Yang lucunya B E jadi mirip dengan bis antar jemput perawat. Karena penumpang selain aku hampir rata menggunakan seragam perawat. Ternyata dugaanku tidak salah, mereka turun di Pustu dan Puskesmas setelah melewati 60 kilometer dari Bireuen. Menempuh jarak 2 jam ..lumayan saja. Apakah itu layak dijadikan pembenaran bagi mereka datang telat dan pulang cepat?
Aku melewati sedikit perkebunan kopi. Rangkaian bunga bunga kopi yang masih bermandikan embun, nampak menawan di terpa sejuknya sinar matahari. Kabut lembut yang menerawang mulai terhapus oleh sinar matahari. Mungkin tidak banyak yang tau, kalau bunga putih bersih itu memiliki wangi yang semerbak. Mungkin juga tidak banyak yang tau, kalau buah kopi segar yang sudah masak memiliki rasa yang manis.
Batang-batang pinus tua dan muda berjejer jarang-jarang di sepanjang lereng bukit barisan. Deretannya sudah semakin jauh. Bahkan banyak lereng sudah gundul. Hanya tersisa hamparan ilalang hijau saja. Kasian... Dulu mamak pernah cerita, waktu abangku lahir tahun 1972, pohon itu baru saja di tanam oleh PT Inhutani. Bahkan salah satu adiknya ikut dalam proses penanaman itu. Dan, masih menurut mamak, sudah ada kesepakatan antara pemda dan inhutani bahwa pinus itu bisa ditebang 30 tahun kemudian. Gak kebayang kalau lereng itu gundul.
Aku juga pernah dengar cerita salah satu calon investor yang dibawa teman dari Malaysia, kita ketemu di solong tahun lalu. Dia bilang, getah pinus itu sangat mahal. Masyarakat Aceh Tengah dan sekitarnya seharusnya mendapatkan dukungan yang cukup demi melestarikan pinus dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi, seingat aku hanya satu dua batang saja yang getahnya di sadap. Dulu, aku pernah lihat ada kilang getah pinus di Seulawah. Ntah kenapa sekarang tidak ada lagi. Pinus di sana juga sama nasibnya dengan pinus di Takengon sini, jarang-jarang.
Beberapa kali B E berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang. Yang lucu, satu kali dia berhenti di KM 65, Timang Gajah 1. Aku bergegas menutupi sebagian wajahku dengan tangan. Takut kalau-kalau ada orang yang menandaiku. Si mamak asli dari situ, hampir rata penduduk timang gajah 1 saudara kami. Aku geli juga, kok mesti takut ketemu saudara sendiri. Sebenarnya bukan takut sih, tapi demi mengingat sumpah serapah dan omelan yang keluar dari mulut mereka karena lama tidak main kesana. Belum lagi kalau ditarik turun dan harus bermalam disana...:-)
Sukurlah, tidak lama bis berjalan, melalui Lampahan, Simpang Balik, dan Teritit. Melewati Bener Meriah, memasuki Aceh Tengah. Dari jauh Danau Laut tawar sudah menghampar. Kebayangkan akan tinggal beberapa tahun di kota yang jaraknya hampir seharian ke Banda Aceh atau Medan. Tidak ada Solong, pantai Lhoknga, apalagi Canai Mamak. Tapi aku optimis, walaupun tidak seindah tempat kalian berada, aku yakin, disini aku juga bisa berbagi cerita kepada kalian, cerita yang tidak kalah manis dan hangat.