Sejak terjadi konflik di Aceh, perempuan menjadi sasaran kekerasan para pihak yang bersenjata. Perempuan menjadi sasaran pembunuhan, penculikan, pemukulan dan diskriminasi sosial. Atas alasan apapun tindakan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh siapapun dan untuk alasan apapun adalah tidak bisa dibenarkan. Ditengah-tengah kenyataan yang dihadapi perempuan, tidak ada satupun lembaga negara, lembaga internasional dan masyarakat di Aceh yang dapat memberikan perlindungan terhadap nasib perempuan ditengah konflik di Aceh.
Dalam situasi konflik, perempuan Aceh menjadi elemen sosial yang dominan sebagai pelaku hampir rata-rata aktifitas sosial. Perempuan di hampir setiap negara yang memiliki konflik politik seperti di Aceh memiliki nasib yang sama. Survei LBH Banda Aceh pada tahun 2001 membuktikan bahwa elemen masyarakat sipil yang paling aktif melakukan advokasi kasus-kasus tindak kekerasan yang berhadapan dengan negara lebih banyak dilakukan oleh perempuan; baik isteri yang melakukan pembelaan terhadap suaminya, ibu terhadap anaknya dan anak perempuan terhadap saudara laki-lakinya. Selama konflik berlansung di Aceh, banyak perempuan kemudian menjadi penanggungjawab tunggal aktifitas ekonomi dan sosial keluarga. Bahkan terpaksa menjadi singgle parent untuk anak-anaknya yang karena alasan konflik terpaksa berpisah dengan suaminya. Mereka berposisi sebagai komponen paling beresiko. Namun, ketika situasi mulai normal kembali, posisi perempuan diruang publik menjadi menurun kembali. Buah dari perdamaian, peran partisipasi perempuanpun sedikit demi sedikit mulai redup terambil alih kembali oleh peran laki-laki yang kembali mendapatkan tempat strategis dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi. Domestikasi perempuanpun kembali terjadi.
Belum lagi persoalan konflik selesai, bencana alam gempa dan tsunami, telah merenggut begitu banyak jiwa perempuan dan sumber penghidupannya. Oxfam memperkirakan perempuan yang menjadi korban dengan perbandingan sekitar 10 perempuan untuk satu korban laki-laki. Jumlah yang tidak seimbang ini membuat perempuan rawan atas kekerasan dan diskriminasi.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya suara-suara yang mengatasnamakan agama memberikan penilaian bahwa sebab musabab jumlah perempuan lebih ramai yang menjadi korban lantaran perempuan sebagai kaum pendosa yang tidak menjalankan Syari’at Islam dengan Kaffah. Hal ini tidak hanya menempatkan perempuan sebagai objek stigmatisasi tetapi juga object kekerasan. Perempuan-perempuan harus menanggung kehidupan rumah tangga sendiri, menanggung resiko stigma social sebagai janda, serta harus menanggung semua resiko sosial dan politik yang dihadapi dalam situasi emergency alam dan emergency politik.
Posistifnya, perempuan Aceh pasca tsunami memberikan kontsribusi dan inisiatif bagi kelanjutan society-mereka. Perempuan menjadi pengawal keluarga dan masyarakatnya untuk bertahan selama periode penanganan darurat pasca tsunami. Perempuan telah memainkan peranan dan posisi yang sangat signifikan dalam pekerjaan kemanusiaan. Sayangnya, jumlah keterlibatan perempuan dalam pembuatan cetak biru Aceh sangatlah kecil meskipun Badan Pembangunan Nasional –Bapenas yang bertanggung jawab dalam pembuatan Blue Print dipimpin oleh seorang perempuan. Bahkan pada pelaksanaanya tidak ada perempuan yang menempati posisi strategis pada jajaran deputy BRR tersebut.
UUPA dan Perjuangan Perempuan Aceh
Sebuah pertanyaan penting adalah; bagaimana kita dapat memastikan bahwa semua penduduk Aceh dapat terlibat dalam upaya recovery, reconstruksi dan perdamaian di Aceh, dan bahwa pelbagai kepentingan, termasuk yang dirasakan oleh perempuan Aceh diperhatikan? MoU antara RI dan GAM sebagai upaya mengakhiri konflik di Aceh, mengamanatkan adanya Undang-Undang pemerintahan yang baru untuk Aceh.
Saat ini, draft Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUUPA) telah selesai disusun oleh beberapa pihak, diantaranya pihak Akademisi (IAIN, UNSYIAH, UNIMA), pemerintah daerah serta DPRD NAD, GAM dan elemen civil society. Namun, proses penyusunan draft RUUPA ini masih sangat minimal melibatkan elemen masyarakat, termasuk perempuan. Hal ini berpotensi melahirkan beberapa dampak seperti, tidak terakomodirnya kebutuhan sosial politik perempuan dalam berbagai aspek, sehingga semakin mendiskriminasi perempuan dalam masyarakat.
Saat ini MoU menjadi momentum bagi perempuan untuk mempertegas hak-hak politik perempuan melalui pembuatan UUPA, pelaksanaan pengadilan HAM, Pilkadasung, partai politik lokal serta komisi kebenaran dan rekonsiliasi. UUPA tidak akan memiliki impact signifikan apabila belum mengakomodir point-point penting yang berkaitan dengan hak social politik perempuan. Atau kemungkinan yang lebih parah bisa saja terjadi apabila UUPA tidak berpihak pada kepentingan perempuan dan bias gender . Yang seharusnya terjadi adalah perhatian khusus yang diberikan untuk perempuan harus dipahami sebagai celah pembuka untuk mendesakkan isu gender pada seluruh aspek kehidupan bernegara melalui kendaraan UUPA.
Pengkhususan ini menjadi keharusan mengingat perempuan di Aceh masih dikategorikan sebagai kelompok masyarakat rentan yang telah mengalami diskriminasi social, ekonomi dan politik sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Pengkhususan ini adalah bentuk diskriminasi bersifat positif yang memiliki tendensi solidaritas social, sehingga dalam waktu yang relative singkat akan mampu mengangkat kembali eksistensi perempuan sebagai manusia. Dalam evolusi masyarakat kemudian diskriminasi positif ini dapat ditiadakan kembali. Diskriminasi positif disini mencakup; kuota perempuan dalam parlemen, kuota perempuan dalam pemerintahan, kuota perempuan dalam jabatan-jabatan social kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi (tenaga kerja, modal dan pasar).
Untuk skala Aceh, diskriminasi positif ini baru menjadi kebijakan yang dilaksanakan oleh agensi-agensi internasional seperti, lembaga-lembaga PBB, INGO dan NGO-NGO local yang dalam pelaksanaan program senantiasa memberikan porsi lebih terhadap eksistensi perempuan sebagai elemen rentan dalam masyarakat. Alhasil, sedikit banyaknya peran agensi-agensi internasional dan NGO local telah memperkuat posisi perempuan pada sector public. Sementara aparatur negara dari atas sampai ke tingkat pedesaan yang sepatutnya menjadi agensi pelindung perempuan masih melakukan tindakan-tindakan yang melemahkan posisi perempuan.
UUPA sebagai acuan pelaksanaan pemerintah Aceh kedepan dan sekaligus sebagai fondasi hubungan ekonomi politik social kemasyarakatan adalah kunci utama pelaksanaan diskrimasi positif tersebut. UUPA harus menjadi “dongkrak” pemberdayaan perempuan. Pemerintah pusat dan propinsi-propinsi lain di Indonesia belum memiliki keinginan politik yang sedemikian rupa. Perubahan maju harus dimulai dari Aceh. UUPA adalah kesempatan dan peluang yang harus digunakan oleh rakyat Aceh untuk kembali mengangkat harkat martabat perempuan. Tuntutan ini menjadi nilai kompensasi yang harus dibayar oleh semua pihak di Aceh terhadap eksistensi perempuan semasa konflik dan pasca tsunami. Jika tidak, maka perdamaian ini tidak membawa keuntungan yang signifikan terhadap perempuan Aceh.
Dalam draft RUUPA belum memberikan tempat terhadap pemberlakuan diskriminasi positif terhadap perempuan. Akademisi, Pemda, civil society, ulama, DPRD dan GAM belum memberikan perhatian yang signifikan terhadap adanya kebijakan progresif akan pemberdayaan perempuan di Aceh. Komponen-komponen diatas lalai dengan pasal-pasal yang mengatur transfer keluasaan otoritas kekuasaan politik dan ekonomi dari Jakarta ke Aceh. Sementara keluasaan kekuasaan politik dan ekonomi untuk Aceh kedepan tidak akan membawa pengaruh yang lebih besar terhadap kemajuan perempuan di Aceh jika kebijakan yang mengatur diskriminasi positif terhadap perempuan tidak diatur secara detail dalam UUPA. Dengan begini, porsi kekuasaan politik dan ekonomi yang akan didapatkan Aceh hanya akan menguntungkan posisi laki-laki saja dan perempuan akan digiring kembali pada batas-batas domestic rumah tangga saja.
Perdamaian Adalah Kesempatan Melakukan Advokasi Terhadap Perempuan
Disaat konflik mendera di Aceh, pemerintah Jakarta senantiasa disimbolkan sebagai biang kerok kejumudan perubahan peradaban di Aceh. Tidak adanya izin dari pemerintah pusat di Jakarta selalu menjadi alasan biokrat-biokrat dan politisi-politisi konservatif di Aceh untuk menggantung setiap ide-ide perubahan. Kini, MoU perdamaian antara GAM dan pemerintah RI menggariskan otoritas yang cukup besar di Aceh. Tanggungjawab pemerintah Jakarta hanyalah dibidang keamanan, pertahanan luar negeri, moneter dan hubungan politik luar negeri. Diluar dari itu semua adalah menjadi kewenangan masyarakat Aceh. Kebijakan pemberlakuan diskriminasi positif terhadap perempuan adalah kewenangan yang harus diputuskan oleh masyarakat Aceh yang tidak boleh ditentang oleh pemerintah pusat.
Perdamaian telah memberikan ruang demokrasi yang kontruktif di Aceh. Partisipasi politik rakyat Aceh akan semakin mendapatkan tempat serta akan berdayaguna untuk kemaslahatan perempuan. Dalam situasi perdamaian ”tuan-tuan bersenjata” tidak bisa lagi mengintervensi keinginan perubahan sosial di Aceh karena dominasi sosial kembali dikuasai oleh logika dan kepentingan yang disalurkan lewat mekanisme demokrasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan eksistensi perempuan di Aceh kearah yang lebih baik akan ditentukan oleh rakyat Aceh sendiri.
Dalam atmosfir seperti ini, musuh utama masyarakat Aceh; terutama perempuan adalah kejumudan berpikir yang berpijak pada paham patriarki yang bisa dimiliki oleh siapapun di Aceh termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Untuk itu, semua elemen di Aceh baik Pemda, DPRD, BRR, GAM, partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat Aceh sudah sepatutnya membawa perubahan terhadap eksistensi perempuan Aceh serta membuktikan kepada sejarah bahwa perempuan-perempuan Aceh benar-benar eksis sebagaimana cerita-cerita kepahlawanan perempuan Aceh pada masa kejayaannya.
Dalam situasi konflik, perempuan Aceh menjadi elemen sosial yang dominan sebagai pelaku hampir rata-rata aktifitas sosial. Perempuan di hampir setiap negara yang memiliki konflik politik seperti di Aceh memiliki nasib yang sama. Survei LBH Banda Aceh pada tahun 2001 membuktikan bahwa elemen masyarakat sipil yang paling aktif melakukan advokasi kasus-kasus tindak kekerasan yang berhadapan dengan negara lebih banyak dilakukan oleh perempuan; baik isteri yang melakukan pembelaan terhadap suaminya, ibu terhadap anaknya dan anak perempuan terhadap saudara laki-lakinya. Selama konflik berlansung di Aceh, banyak perempuan kemudian menjadi penanggungjawab tunggal aktifitas ekonomi dan sosial keluarga. Bahkan terpaksa menjadi singgle parent untuk anak-anaknya yang karena alasan konflik terpaksa berpisah dengan suaminya. Mereka berposisi sebagai komponen paling beresiko. Namun, ketika situasi mulai normal kembali, posisi perempuan diruang publik menjadi menurun kembali. Buah dari perdamaian, peran partisipasi perempuanpun sedikit demi sedikit mulai redup terambil alih kembali oleh peran laki-laki yang kembali mendapatkan tempat strategis dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi. Domestikasi perempuanpun kembali terjadi.
Belum lagi persoalan konflik selesai, bencana alam gempa dan tsunami, telah merenggut begitu banyak jiwa perempuan dan sumber penghidupannya. Oxfam memperkirakan perempuan yang menjadi korban dengan perbandingan sekitar 10 perempuan untuk satu korban laki-laki. Jumlah yang tidak seimbang ini membuat perempuan rawan atas kekerasan dan diskriminasi.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya suara-suara yang mengatasnamakan agama memberikan penilaian bahwa sebab musabab jumlah perempuan lebih ramai yang menjadi korban lantaran perempuan sebagai kaum pendosa yang tidak menjalankan Syari’at Islam dengan Kaffah. Hal ini tidak hanya menempatkan perempuan sebagai objek stigmatisasi tetapi juga object kekerasan. Perempuan-perempuan harus menanggung kehidupan rumah tangga sendiri, menanggung resiko stigma social sebagai janda, serta harus menanggung semua resiko sosial dan politik yang dihadapi dalam situasi emergency alam dan emergency politik.
Posistifnya, perempuan Aceh pasca tsunami memberikan kontsribusi dan inisiatif bagi kelanjutan society-mereka. Perempuan menjadi pengawal keluarga dan masyarakatnya untuk bertahan selama periode penanganan darurat pasca tsunami. Perempuan telah memainkan peranan dan posisi yang sangat signifikan dalam pekerjaan kemanusiaan. Sayangnya, jumlah keterlibatan perempuan dalam pembuatan cetak biru Aceh sangatlah kecil meskipun Badan Pembangunan Nasional –Bapenas yang bertanggung jawab dalam pembuatan Blue Print dipimpin oleh seorang perempuan. Bahkan pada pelaksanaanya tidak ada perempuan yang menempati posisi strategis pada jajaran deputy BRR tersebut.
UUPA dan Perjuangan Perempuan Aceh
Sebuah pertanyaan penting adalah; bagaimana kita dapat memastikan bahwa semua penduduk Aceh dapat terlibat dalam upaya recovery, reconstruksi dan perdamaian di Aceh, dan bahwa pelbagai kepentingan, termasuk yang dirasakan oleh perempuan Aceh diperhatikan? MoU antara RI dan GAM sebagai upaya mengakhiri konflik di Aceh, mengamanatkan adanya Undang-Undang pemerintahan yang baru untuk Aceh.
Saat ini, draft Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUUPA) telah selesai disusun oleh beberapa pihak, diantaranya pihak Akademisi (IAIN, UNSYIAH, UNIMA), pemerintah daerah serta DPRD NAD, GAM dan elemen civil society. Namun, proses penyusunan draft RUUPA ini masih sangat minimal melibatkan elemen masyarakat, termasuk perempuan. Hal ini berpotensi melahirkan beberapa dampak seperti, tidak terakomodirnya kebutuhan sosial politik perempuan dalam berbagai aspek, sehingga semakin mendiskriminasi perempuan dalam masyarakat.
Saat ini MoU menjadi momentum bagi perempuan untuk mempertegas hak-hak politik perempuan melalui pembuatan UUPA, pelaksanaan pengadilan HAM, Pilkadasung, partai politik lokal serta komisi kebenaran dan rekonsiliasi. UUPA tidak akan memiliki impact signifikan apabila belum mengakomodir point-point penting yang berkaitan dengan hak social politik perempuan. Atau kemungkinan yang lebih parah bisa saja terjadi apabila UUPA tidak berpihak pada kepentingan perempuan dan bias gender . Yang seharusnya terjadi adalah perhatian khusus yang diberikan untuk perempuan harus dipahami sebagai celah pembuka untuk mendesakkan isu gender pada seluruh aspek kehidupan bernegara melalui kendaraan UUPA.
Pengkhususan ini menjadi keharusan mengingat perempuan di Aceh masih dikategorikan sebagai kelompok masyarakat rentan yang telah mengalami diskriminasi social, ekonomi dan politik sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Pengkhususan ini adalah bentuk diskriminasi bersifat positif yang memiliki tendensi solidaritas social, sehingga dalam waktu yang relative singkat akan mampu mengangkat kembali eksistensi perempuan sebagai manusia. Dalam evolusi masyarakat kemudian diskriminasi positif ini dapat ditiadakan kembali. Diskriminasi positif disini mencakup; kuota perempuan dalam parlemen, kuota perempuan dalam pemerintahan, kuota perempuan dalam jabatan-jabatan social kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi (tenaga kerja, modal dan pasar).
Untuk skala Aceh, diskriminasi positif ini baru menjadi kebijakan yang dilaksanakan oleh agensi-agensi internasional seperti, lembaga-lembaga PBB, INGO dan NGO-NGO local yang dalam pelaksanaan program senantiasa memberikan porsi lebih terhadap eksistensi perempuan sebagai elemen rentan dalam masyarakat. Alhasil, sedikit banyaknya peran agensi-agensi internasional dan NGO local telah memperkuat posisi perempuan pada sector public. Sementara aparatur negara dari atas sampai ke tingkat pedesaan yang sepatutnya menjadi agensi pelindung perempuan masih melakukan tindakan-tindakan yang melemahkan posisi perempuan.
UUPA sebagai acuan pelaksanaan pemerintah Aceh kedepan dan sekaligus sebagai fondasi hubungan ekonomi politik social kemasyarakatan adalah kunci utama pelaksanaan diskrimasi positif tersebut. UUPA harus menjadi “dongkrak” pemberdayaan perempuan. Pemerintah pusat dan propinsi-propinsi lain di Indonesia belum memiliki keinginan politik yang sedemikian rupa. Perubahan maju harus dimulai dari Aceh. UUPA adalah kesempatan dan peluang yang harus digunakan oleh rakyat Aceh untuk kembali mengangkat harkat martabat perempuan. Tuntutan ini menjadi nilai kompensasi yang harus dibayar oleh semua pihak di Aceh terhadap eksistensi perempuan semasa konflik dan pasca tsunami. Jika tidak, maka perdamaian ini tidak membawa keuntungan yang signifikan terhadap perempuan Aceh.
Dalam draft RUUPA belum memberikan tempat terhadap pemberlakuan diskriminasi positif terhadap perempuan. Akademisi, Pemda, civil society, ulama, DPRD dan GAM belum memberikan perhatian yang signifikan terhadap adanya kebijakan progresif akan pemberdayaan perempuan di Aceh. Komponen-komponen diatas lalai dengan pasal-pasal yang mengatur transfer keluasaan otoritas kekuasaan politik dan ekonomi dari Jakarta ke Aceh. Sementara keluasaan kekuasaan politik dan ekonomi untuk Aceh kedepan tidak akan membawa pengaruh yang lebih besar terhadap kemajuan perempuan di Aceh jika kebijakan yang mengatur diskriminasi positif terhadap perempuan tidak diatur secara detail dalam UUPA. Dengan begini, porsi kekuasaan politik dan ekonomi yang akan didapatkan Aceh hanya akan menguntungkan posisi laki-laki saja dan perempuan akan digiring kembali pada batas-batas domestic rumah tangga saja.
Perdamaian Adalah Kesempatan Melakukan Advokasi Terhadap Perempuan
Disaat konflik mendera di Aceh, pemerintah Jakarta senantiasa disimbolkan sebagai biang kerok kejumudan perubahan peradaban di Aceh. Tidak adanya izin dari pemerintah pusat di Jakarta selalu menjadi alasan biokrat-biokrat dan politisi-politisi konservatif di Aceh untuk menggantung setiap ide-ide perubahan. Kini, MoU perdamaian antara GAM dan pemerintah RI menggariskan otoritas yang cukup besar di Aceh. Tanggungjawab pemerintah Jakarta hanyalah dibidang keamanan, pertahanan luar negeri, moneter dan hubungan politik luar negeri. Diluar dari itu semua adalah menjadi kewenangan masyarakat Aceh. Kebijakan pemberlakuan diskriminasi positif terhadap perempuan adalah kewenangan yang harus diputuskan oleh masyarakat Aceh yang tidak boleh ditentang oleh pemerintah pusat.
Perdamaian telah memberikan ruang demokrasi yang kontruktif di Aceh. Partisipasi politik rakyat Aceh akan semakin mendapatkan tempat serta akan berdayaguna untuk kemaslahatan perempuan. Dalam situasi perdamaian ”tuan-tuan bersenjata” tidak bisa lagi mengintervensi keinginan perubahan sosial di Aceh karena dominasi sosial kembali dikuasai oleh logika dan kepentingan yang disalurkan lewat mekanisme demokrasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan eksistensi perempuan di Aceh kearah yang lebih baik akan ditentukan oleh rakyat Aceh sendiri.
Dalam atmosfir seperti ini, musuh utama masyarakat Aceh; terutama perempuan adalah kejumudan berpikir yang berpijak pada paham patriarki yang bisa dimiliki oleh siapapun di Aceh termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Untuk itu, semua elemen di Aceh baik Pemda, DPRD, BRR, GAM, partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat Aceh sudah sepatutnya membawa perubahan terhadap eksistensi perempuan Aceh serta membuktikan kepada sejarah bahwa perempuan-perempuan Aceh benar-benar eksis sebagaimana cerita-cerita kepahlawanan perempuan Aceh pada masa kejayaannya.
Komentar