Diorama yang diciptakan sekaligus dibawakan oleh Tulus. Bercerita
tentang sepasang kekasih yang hanya bisa menyesal, tidak bisa berbuat
lebih baik. Semuanya terlambat dan tidak berakhir bahagia.
Belakangan saya “engeh” kalau lagu ini mirip sekali seperti Aceh. Tempat dimana manusia menikmati "senang", tetapi sesungguhnya kondisi itu membeku seperti adegan dalam diorama.
KBBI pada alamat http://kbbi.web.id/diorama; di·o·ra·ma n 1 sajian pemandangan dl ukuran kecil
yg dilengkapi dng patung dan perincian lingkungan spt aslinya serta dipadukan
dng latar yg berwarna alami; pola atau corak tiga dimensi suatu adegan atau
pemandangan yg dihasilkan dng menempatkan objek dan tokoh di depan latar
belakang dng perspektif yg sebenarnya sehingga dapat menggambarkan keadaan yg
sebenarnya; 2 pameran spesimen satwa liar atau pemandangan dl ukuran
aslinya yg dilengkapi dng lingkungan alam asli dan latar yg bercat.
Setiap pojok Aceh berisi cerita sendiri. Dikumpulkan dari sketsa
yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu tertentu. Semua dibahasakan menurut
kehendak pemilik mulut. Bergantung pada pengalaman dan pengetahuannya. Yang
memiliki pengalaman pribadi bisa jadi menambah bumbu pada ceritanya. Apalagi
yang mengulang cerita orang, mungkin bumbunya lebih rame. Bisa merubah cita rasa cerita menjadi sajian cerita baru. Lebi ngaco, sampai kepada merusak cerita.
Diulang dalam seminar, buku, tulisan, dialog, obrolan warung kopi,
gambar, film, bahkan lawak.
Punya pengalaman keluar rumah jam 08.00 WIB (pahami penulisannya ya biar gak salah ngebayangin). Hampir semua memacu kendaraan dengan
kecepatan tinggi. Tidak sabar menunggu lama di lampu merah. Menerobos lampu
merah dan mendahului lampu hijau. Melanggar rambu dilarang memutar. Yang
terakhir ini saya pernah melakukan.
Semangat bekerja merasuki saya juga. Walaupun tujuan saya keluar
bukan untuk bekerja :). Geliat masyarakat Aceh mencari rupiah mewarnai permulaan
hari saya, kala itu. Oke ini bisa jadi satu hal positif di Aceh.
Dimana ini terjadi? Hanya dipusat kota. Menepi sedikit di kawasan Batoh.
Sudah mulai lengang. Kawasan Ketapang semakin sepi. Toko-toko belum dibuka.
Jalanan plong. Orang masih sempat menelpon sambil berkendaraan. Santai seperti
di pantai.
Wajah Aceh berhenti pada;
Pakai bendera apa? Bulan Bintang atau Kerajaan Aceh.
Wajah Aceh berhenti pada;
Hati-hati ada WH dimana-mana.
Setelah program BRR NAD Nias “Build
Back Better” selesai, kita tidak lagi melihat milestone terpampang di papan
reklame dalam kota. Menutup iklan rokok dan pesan sponsor lainnya. Sehingga
rakyat bisa melihat, mengevaluasi, terlibat. Semua tersimpan dalam laci. Dibuka
ketika masa audit telah tiba.
Banjir kembali datang. Bayangkan kalau sungai belum sempat digali, perbaikan
drainase belum sempat diselesaikan. Soft component seperti larangan membuang
sampah sembarangan, himbauan minimalisir penggunaan plastik, manajemen tata
kelola hutan, sangat relevan dilanjutkan. Mungkin bisa dipertimbangkan
melanjutkan proyek Moratorium Logging dan Aceh Green yang digadang-gadang oleh
Irwandi (Gubernur Aceh 2007-2017) sebagai bagian grand scenario menuju Aceh yang jauh
lebih baik.
Dua hari lagi, 10 Tahun Tsunami diperingati. 26 Desember 2004-26
Desember 2014. Umbul-umbul berkibar jauh hari sebelumnya. Pada Jumat, 19
Desember 2014, Tempo.co menuliskan; Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Aceh, Reza Fahlevi menuturkan konsep peringatan 10 tahun Tsunami mengangkat
tiga tema besar: reflection (renungan),
appreciation (penghargaan) dan awakening (bangkit). Poin satu dan dua bisa jadi terealisasi.
Bagaimana dengan poin terakhir?
Seperti terkena kutukan. Aceh tidak move on. Padahal waktu sudah
menjelang 1 dekade ditandatanganinya kesepakatan damai GAM dengan RI, 15 Agustus 2005 – 15 Agustus
2015. Ternyata memutuskan perang mudah sekali. Tetapi mendirikan kesepakatan damai
sulit luar biasa.
Komentar