Ah! Putus!
Sendal jepit putih bertali biru itu tertinggal satu langkah di belakang. Menjalar dingin di kaki kiriku, beradu kulit dengan lumpur sawah di Bineh Glee. Apa daya, terpaksa kupungut sendal tadi dan ku jinjing saja. Kembali berjalan di pematang sawah menuju kebun kelapa yang sudah didepan mata. Sebenarnya tadi sudah diingatkan untuk memakai sendal yang lain. Karena malas mencari kebelakang rumah, jadilah kupakai sendal jepit ini yang kebetulan teronggok nganggur dimuka pintu. Kadang ada benar mantra orang tua "kualat kalau tidak mau dengar". Sekarang, malasnya dibayar dengan geli dingin karena kaki melangkah diatas tanah becek sawah.
Tersenyum aku setelah menghela nafas. Sampai juga. Sebelum masuk kekebun aku harus melewati aliran irigasi, ada tangga batang kelapa diantara pematang sawah dan kebunku. kebun orang tuaku tepatnya. ada pakwa Yan sedang menjalin helaian daun rumbia dan seulas bambu. dia memang pengrajin atap daun rumbia. seingatku, inilah salah satu mata pencahariannya selain bertani. disampingnya ada kursi bambu.
"Kiban Pakwa.. banyak jadi?"
Benar juga yang dikatakan Pakwa. sudah lama sekali aku tidak menerima oleh-oleh rumbia manis dari meulaboh. Mungkin nasib pohon rumbia disana juga sama dengan rumbia di kampung ku ini. Banyak ditebang. Dulu kalau beli rumbia, seribu bisa dapat 20 buah. kalau sekarang? wah..sudah lama tidak beli karena terakhir aku tanya 1000 rupiah cuma dikasih 3 buah saja. Tidak lagi bisa seperti dulu, menjebak teman yang tidak kenal dengan "salak Aceh" ini bisa sembarangan. Karena murah."Panena Biya.... lawet nyoe hanjeut lhee keubut.. ka abeh matee bak rumbia dum." Jemarinya lincah menusukkan benang bambu. aroma getah daun dan batang bambunya sungguh sedap. Tangan kekar pakwa Yan cekatan sekali, sebentar saja sudah selesai.
Kudengarkan Pakwa Yan bercerita, bagaimana sulitnya mendapatkan daun rumbia yang panjang dan lebar. Suasana sekarang tidak ramah lagi pada pohon-pohon. Daun sekarang cepat sobek kalau dijahit (menganyam daun rumbia dengan benang bambu). Hawa sekarang juga makin panas. Mana kalau sudah hujan juga tidak putus-putus.
"Buah rumbia juga tidak sama banyak seperti dulu. Rasanya juga tidak manis seperti dulu. Sebentar saja sudah kuning dia. Ukurannya makin kecil. Tidak lemak lagi. Tidak mengkilat lagi. Tidak... ....heii!! husshh!!". Pakwa Yan tidak meneruskan kalimatnya. dia berlari mengejar segerombolan kambing yang berusaha menerobos kedalam kebun. Aku yakin itu kambing tetangga. kalau kambingnya pasti tidak dikejar begitu.
Pakwa Yan ini abang sepupu ibuku sekaligus tetangga kebun. Sering memanfaatkan kebun kami untuk ditanami sayuran muda. Anaknya Empat. Tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki. Istrinya belum lama meninggal. Kata orang kampung penyakit kiriman. Sebelum meninggal aku menjenguk ke rumah sakit, terlihat sekujur tubuh melepuh dan menghitam. Seperti orang keracunan obat dan gagal ginjal. Entah lah apa penyebabnya, rumah sakitpun tidak pernah memberikan informasi yang jelas apa penyebabnya.
Memilih buah kelapa yang pas rasanya dan kelembutan dagingnya bukan masalah bagiku. Sebagai penikmat kelapa sejak balita, aku sudah mahir membedakan mana kelapa muda sekali yang isinya masih mirip lendir dan airnya tidak terlalu manis. Mana kelapa yang dagingnya mirip "geulenyung kameng" dan airnya sudah lebih manis. Mana kelapa yang dagingnya mulai bersantan dan airnya sangat manis. Kali ini aku mau yang terakhir, perutku kenyang, jadi tidak terlalu penting dagingnya. Yang penting airnya. Semua kukerjakan sendiri. Memetik, membuang sedikit kulitnya agar bisa kuminum airnya.
Setelah air habis, kelapa kubelah dan kutinggalkan begitu saja dengan posisi daging kelapa terbuka keatas. Aku tau akan ada yang datang menghampiri. Benar saja, belum bangun dari jongkok, sudah datang segerombolan angsa mematuk daging kelapa. Kembali aku duduk di kursi bambu, menatap aliran air irigasi yang mulai sedikit. Banyak rumput kiriman lewat, terapung mengikuti aliran air. Sepertinya diujung sana ada yang membersihkan sawahnya dan mencampakkan sampah ke irigasi. Sudah biasa seperti itu. Waktu kecil dulu, hampir tiap hari mandi disini. Kadang-kadang meminjam ban Pakwa Yan. Berjalan ke pintu irigasi. Duduk diatas ban dan mengalir sambil menikmati dorongan air sampai ke jembatan didepan kebun. Berhenti, naik kedarat, dan mengulangi lagi sampai beberapa kali. Kalau sedang tidak mujur, sering terkena duri sampah petani yang dibuang ke irigasi. Atau papasan dengan kotoran manusia yang buang hajat diirigasi. Kalau busa pupuk jangan ditanya lagi, selalu ada.
30 tahun lebih mengaku memiliki kampung ini. Aku tidak melihat ada perubahan berarti disini. Kecuali jalan lorong depan rumah sudah di cor. Beberapa rumah kayu sudah berubah menjadi beton. Ada listrik. Dan tiap rumah sudah punya televisi. kalau dulu, rumah nenek selalu mirip bioskop dimalam minggu. Ada 10 orang lebih datang menonton film akhir pekan. Ribut sekali. Tapi nenek suka, karena hanya mereka yang selalu meramaikan rumah nenek. Enam malam selebihnya, sepi. apa lagi perubahan dikampungku? kecuali banyak pendatang yang masuk karena membeli tanah orang kampung. Atau warung kopi yang bertambah karena sudah ada parabola, yang artinya selalu ada tanding bola. Sudah ada sekitar 10 warung kopi di kampungku. Ada lagi yang berubah, banyak warga kampung yang ditangkap karena kasus narkoba. Ada yang dipenjara, ada yang dilepaskan dengan uang.
Lain dari itu sama saja, bang Sop anak Mak Yat didepan rumah, setiap lepas subuh sudah berangkat kekebun di Glee. Tapi tidak ada yang berubah kecuali mendirikan sebuah rumah dan memiliki beberapa ekor lembu. Sri sudah jadi PNS, satu-satunya di lorongku. Dia jadi guru SMP. Ayu bekerja di Banda Aceh, nasibnya juga tidak jauh berbeda dengan ku, hanya sesekali saja pulang ke kampung. Adik Ayu, si Meri berjualan Nasi. Begitu juga dengan Cek Ru, mamaknya Sri yang juga makcikku. Cek Ru juga berjualan nasi. kemudian kak Syah juga berjualan nasi. Kak Ah depan rumah ek RU juga jualan nasi. Kak Ratna juga jualan nasi. Tati buka warung kelontong. Nah..ini yang banyak berubah, di Meunasah Gadong banyak sekali perempuan yang berdaya secara ekonomi sekarang. Baguslah.
Pakwa Yan tidak kembali lagi, mungkin sudah masuk kerumah. Aku memilih beberapa butir kelapa untuk dibawa pulang, dan kembali melewati jembatan kayu, turun kepematang sawah, dan terus pulang kerumah.
"Tuh kan..kenapa sendalnya ditenteng begitu?" ibuku menyambut dipintu depan. -)
Komentar